Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus
Saudariku fillah, telah kita ketahui bahwa pengakuan kita terhadap tauhid rububiyyah menuntut kita untuk menauhidkan Allah dalam peribadahan. Setelah itu, ketahuilah bahwa ibadah itu mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tampak maupun tersembunyi. (Lihat al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Berdasarkan definisi tersebut, ibadah mencakup seluruh perbuatan baik yang diperintahkan atau dianjurkan oleh syariat untuk dikerjakan, seperti mengerjakan shalat, berpuasa, menunaikan zakat, berhaji, berkurban dengan menyembelih binatang, berbakti kepada orang tua, menyambung silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, menyantuni fakir miskin, menyayangi anak yatim, mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, dsb. Termasuk pula di dalamnya berzikir kepada Allah, berdoa, memohon ampun, mengucapkan kalimat syahadat, memerintahkan perkara yang makruf, mencegah perkara yang mungkar, memberikan nasihat kepada sesama muslim, menyebarkan salam, menepati janji, menunaikan nazar, dll. Termasuk pula di dalamnya amalan-amalan hati, seperti rasa takut kepada Allah, berharap dengan disertai rasa cemas dan khawatir kepada-Nya, bertawakal, kembali kepada-Nya dengan tobat yang sebenar-benarnya, bersabar terhadap segala ketentuan-Nya tanpa keluh kesah, dst.
Itu semua merupakan ibadah yang apabila dilakukan bukan karena Allah, pelakunya telah terjatuh dalam kesyirikan, baik syirik besar maupun syirik kecil. Penulis, insya Allah, hanya akan memberikan sedikit uraian tentang beberapa macam ibadah yang kebanyakan manusia melakukan syirik besar padanya.
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah, setelah menyebutkan beberapa contoh amalan ibadah, berkata, “Barang siapa memberikan sesuatu dari macam-macam ibadah tersebut kepada selain Allah, berarti dia musyrik lagi kafir.”
Beliau membawakan dalilnya, yaitu firman Allah,
وَمَن يَدۡعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ لَا بُرۡهَٰنَ لَهُۥ بِهِۦ فَإِنَّمَا حِسَابُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦٓۚ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ١١٧
“Barang siapa berdoa kepada sembahan yang lain di samping (berdoa kepada) Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada beruntung.” (al-Mu’minun: 117) (Lihat matan Tsalatsatil Ushul)
- Berdoa
Berdoa merupakan ibadah, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Allah berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ٦٠
“Dan Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina’.”(Ghafir: 60)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa berdoa merupakan ibadah karena diperintahkan oleh Allah. Bahkan, Allah menegaskan bahwa doa itu adalah ibadah, karena Allah menutup ayat tersebut dengan kalimat, “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku”, bukan dengan kalimat “berdoa kepada-Ku” sebagaimana perintah di awal ayat.
Adapun dalil dari hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.” (HR. at-Tirmidzi dan yang lainnya, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Macam-macam doa
Ketahuilah, dilihat dari sisi maknanya, lafadz “doa” yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam terbagi menjadi dua macam, yaitu du’a al-mas’alah (دُعَاءُ الْمَسْأَلَةِ) dan du’a al-‘ibadah (دُعَاءُ الْعِبَادَةِ). Terkadang, lafadz “doa” memiliki makna du’a al-mas’alah, terkadang memiliki makna du’a al-‘ibadah, dan terkadang mencakup kedua makna tersebut sekaligus.
Yang kami maksud dengan du’a al-mas’alah adalah doa yang mengandung permohonan dan permintaan kepada Allah. Contohnya, seseorang mengangkat kedua tangannya ke langit sambil memohon kepada Allah agar dipenuhi hajat kebutuhannya. Inilah yang disebut du’a al-mas’alah (doa permohonan), dan inilah yang dipahami oleh mayoritas kaum muslimin tentang doa. Apabila seseorang berkata, “Fulan sedang berdoa”, yang dia maksud adalah Fulan sedang memohon kepada Allah agar dipenuhi hajat kebutuhannya.
Adapun yang dimaksud dengan du’a al-‘ibadah adalah harapan seseorang untuk mendapatkan pahala dalam ibadahnya. Ibadah disebut doa karena tidak ada seorang pun yang beribadah kepada Allah melainkan dia mengharapkan pahala dari ibadahnya tersebut. Dengan demikian, secara tersirat dia berdoa. Seseorang yang sedang melakukan shalat berharap agar mendapatkan pahala dan ridha-Nya, walaupun dia tidak mengucapkan, “Ya Allah, berikanlah pahala kepadaku. Ya Allah, ridhailah aku.” Jadi, du’a al-‘ibadah mencakup seluruh macam ibadah. Orang yang melakukan shalat, berpuasa, menunaikan zakat, berhaji, berjihad, menuntut ilmu, dll. bisa dikatakan sedang berdoa, yaitu du’a al-‘ibadah.
Di antara ayat yang menyebutkan doa dengan makna du’a al-mas’alah adalah firman Allah,
فَإِذَا رَكِبُواْ فِي ٱلۡفُلۡكِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ إِذَا هُمۡ يُشۡرِكُونَ ٦٥
“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; namun, tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, tiba-tiba mereka kembali menyekutukan(-Nya).”(al-‘Ankabut: 65)
Makna doa dalam ayat ini adalah memohon kepada Allah dengan tulus agar diselamatkan dari badai lautan yang dahsyat, bukan maknanya beribadah kepada Allah.
Contoh ayat yang menyebutkan doa dengan makna du’a al-‘ibadah adalah firman Allah,
وَأَعۡتَزِلُكُمۡ وَمَا تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ
“Dan aku (Ibrahim) akan menjauhkan diri dari kalian dan apa-apa yang kalian ibadahi selain Allah.” (Maryam: 48)
Kalimat “wa ma tad’una” kami terjemahkan dengan “apa-apa yang kalian ibadahi” karena makna doa dalam ayat ini adalah ibadah, berdasarkan qarinah ayat setelahnya, yaitu:
فَلَمَّا ٱعۡتَزَلَهُمۡ وَمَا يَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ
“Maka tatkala Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa-apa yang mereka ibadahi dari selain Allah….”(Maryam: 49)
Adapun contoh ayat yang mengandung makna keduanya sekaligus ada banyak sekali di dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah,
وَأَنَّ ٱلۡمَسَٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُواْ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدٗا ١٨
“Dan bahwasanya masjid-masjid itu hanyalah milik Allah, maka janganlah kalian berdoa/beribadah kepada seorang pun (di dalamnya) di samping kepada Allah.” (al-Jin: 18)
Saudariku fillah, apabila pembagian doa ini telah Anda pahami, ketahuilah bahwa kedua macam doa tersebut saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Setiap du’a al-mas’alah pasti mengandung du’a al-‘ibadah, dan setiap du’a al-‘ibadah menuntut adanya du’a al-mas’alah.
Penjelasannya sebagai berikut.
Setiap orang yang memohon sesuatu kepada Allah berarti sedang berdoa dengan du’a al-mas’alah. Di samping itu, perbuatannya tersebut dicintai dan diridhai oleh Allah sehingga mengandung makna ibadah, yang dengan hal itu dia akan mendapatkan pahala (du’a al-‘ibadah).
Setiap orang yang melakukan ibadah berarti sedang berdoa dengan du’a al-‘ibadah. Kondisi tersebut menuntut dirinya untuk memohon kepada Allah agar ibadahnya diterima dan mendapatkan pahala (du’a al-mas’alah).
Perincian atau pembagian masalah ini sangat penting dalam memahami dalil-dalil al-Qur’an, mengingat banyaknya orang-orang yang tersesat di dalamnya, yakni dari kalangan quburiyyun (para pemuja kuburan/orang yang telah dikubur) dan yang semisal mereka. Ketika disampaikan kepada mereka dalil-dalil tentang kesyirikan yang mereka lakukan, yaitu dengan meminta dan berdoa kepada orang-orang yang telah mati, banyak dari mereka yang menjawab bahwa dalil-dalil itu berkaitan dengan praktik-praktik ibadah (du’a al-‘ibadah) semata. Yang mereka pandang sebagai kesyirikan tidak lain adalah apabila seseorang bersujud kepada berhala!
Sungguh, praktik kesyirikan dalam bentuk ini—yakni berdoa kepada orang-orang yang telah mati, baik dari kalangan nabi, wali, maupun orang saleh, dalam rangka mendatangkan manfaat ataupun menolak mudarat—merupakan perkara yang paling banyak manusia terjatuh padanya. Sementara itu, ayat yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah kesyirikan dan kekafiran sangatlah banyak.
Allah berfirman,
إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا يَسۡمَعُواْ دُعَآءَكُمۡ وَلَوۡ سَمِعُواْ مَا ٱسۡتَجَابُواْ لَكُمۡۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يَكۡفُرُونَ بِشِرۡكِكُمۡۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثۡلُ خَبِيرٖ ١٤
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak akan mampu memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari perbuatan syirikmu, dan tidak ada yang bisa memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Dzat yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 14)
Perhatikanlah! Dalam ayat di atas, Allah menyebut perbuatan orang yang berdoa kepada selain-Nya sebagai kesyirikan.
Allah juga berfirman,
وَمَنۡ أَضَلُّ مِمَّن يَدۡعُواْ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَن لَّا يَسۡتَجِيبُ لَهُۥٓ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَهُمۡ عَن دُعَآئِهِمۡ غَٰفِلُونَ ٥
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada selain Allah, yang tiada dapat memperkenankan doanya hingga datangnya hari kiamat, sedangkan mereka lalai dari memerhatikan doa mereka?” (al-Ahqaf: 5)
Wallahu a’lam bish shawab.
http://qonitah.com/macam-macam-ibadah/