Al-Ustadz Marwan
Berbuat maksiat, melewatkan kebaikan, kurang menyempurnakan kewajiban dan amalan ketaatan, meninggalkan hal-hal yang lebih utama, dan akhirnya, menyesal…. Itulah manusia. Adanya berbagai kelemahan dan kekurangan justru menunjukkan kesempurnaannya sebagai makhluk. Ketika manusia merasa bahwa dirinya sempurna, justru itu kekurangan baginya.
Terjatuh pada kesalahan dan kealpaan adalah hal yang lazim pada diri manusia. Hawa nafsu dalam jiwa manusia sangat kuat memerintahkan perbuatan jelek, kecuali jiwa yang dirahmati oleh Rabbnya. Selain itu, pengaruh luar dari para setan begitu kuat. Mereka senantiasa melancarkan bujuk rayu dengan segala tipu daya untuk menyesatkan bani Adam. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai oleh jiwa, sedangkan neraka dikelilingi oleh berbagai syahwat (kesenangan). Itulah beberapa faktor yang mendorong seorang hamba terjatuh dalam kemaksiatan kepada-Nya.
Dengan hikmah-Nya yang sempurna, Allah menakdirkan bahwa Adam dan Hawa terjatuh dalam kesalahan. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala meletakkan tobat yang jujur dan sempurna pada hati mereka berdua atas dosa dan kesalahan yang telah dilakukan. Allah juga mengampuni dan menghapuskan dosa dan kesalahan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَتَلَقَّىٰٓ ءَادَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٖ فَتَابَ عَلَيۡهِۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ٣٧
“Kemudian Adam menerima beberapa pengajaran kalimat (untuk bertobat) dari Rabbnya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 37)
Yang dimaksud “kalimat untuk bertobat” tersebut adalah doa Nabi Adam kepada Allah subhanahu wa ta’alasebagaimana termaktub dalam firman-Nya,
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٢٣
“Keduanya berkata, ‘Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak memberikan rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (al-A’raf: 23)
Uraian Singkat Makna dan Hukum Tobat
Tobat secara bahasa adalah bentuk masdar dari kata تَابَ – يَتُوبُ yang artinya “kembali”. Adapun secara istilah, tobat adalah kembali dari perbuatan maksiat menuju ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Tingkatan tertinggi tobat adalah bertobat dari kekufuran menuju keimanan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِن يَنتَهُواْ يُغۡفَرۡ لَهُم مَّا قَدۡ سَلَفَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, jika mereka berhenti (dari kekafiran), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (al-Anfal: 38)
Tingkatan setelahnya adalah bertobat dari dosa-dosa besar, kemudian bertobat dari dosa-dosa kecil. Secara hukum, setiap individu wajib bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari segala dosa dan kemaksiatan.
Tobat, Lebih dari Sekadar Penyesalan
Penyesalan atas perbuatan maksiat dan dosa mesti ada dalam tobat. Sebab, penyesalan termasuk syarat tobat, tetapi bukan satu-satunya syarat. Masih ada syarat-syarat lain agar tobat seseorang sah.
An-Nawawi rahimahullah, dalam Riyadhus Shalihin min Kalami Sayyidil Mursalin —sebuah karya monumental yang bisa dikatakan dikenal oleh setiap muslim semasa dan setelah masa beliau—memaparkan syarat-syarat tobat. Pada “Bab Tobat” beliau rahimahullah mengatakan, “Para ulama mengatakan bahwa tobat wajib dilakukan atas dosa apa pun. Jika kemaksiatan tersebut terjadi dalam hubungan seorang hamba dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak terkait dengan hak sesama manusia, tobat harus memenuhi tiga syarat:
- Dia mencabut diri dari kemaksiatan tersebut.
- Dia merasa menyesal atas kemaksiatan yang telah diperbuatnya.
- Dia berkeinginan keras untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut selama-lamanya.
Jika salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, tobat seseorang tidak sah.
Jika kemaksiatan tersebut terkait dengan hak sesama manusia, syarat tobat ada empat, yaitu ketiga syarat di atas ditambah syarat keempat, yaitu melepaskan diri dari hak orang yang dizaliminya. Kalau dia berbuat zalim terhadap harta orang lain atau yang semisalnya, dia wajib mengembalikannya. Kalau dia berbuat zalim dengan menuduh orang lain dan yang semisalnya, dia harus menyerahkan diri untuk ditegakkan hukum atasnya, atau meminta maaf kepada orang tersebut. Kalau dia berbuat zalim dengan mengghibah saudaranya, dia wajib meminta kehalalannya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan pemaparan al-Imam an-Nawawirahimahullah, menambahkan syarat tobat. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Tobat memiliki tiga syarat sebagaimana disebutkan oleh penulis (al-Imam an-Nawawi) rahimahullah. Namun, setelah diteliti kembali, ternyata syaratnya ada lima.
Syarat pertama, ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Seseorang bertobat dengan maksud mencari Wajah Allah k semata dan agar Allah mengampuninya serta memaafkan kemaksiatan yang dilakukannya. Dia bertobat bukan untukriya’, mendekatkan diri kepada manusia, atau menyelamatkan diri dari hukuman pemerintah.
Syarat kedua, menyesali perbuatan maksiat yang telah ia kerjakan. Penyesalan ini menunjukkan kejujurannya di dalam bertobat.
Syarat ketiga, mencabut diri dari kemaksiatan yang telah ia kerjakan, dan ini termasuk syarat tobat yang paling penting. Jika dosa itu terkait dengan perbuatannya meninggalkan kewajiban, dia harus mengerjakannya. Misalnya, seseorang meninggalkan kewajiban zakat, lalu ingin bertobat. Untuk memenuhi syarat ini, dia harus mengeluarkan zakat yang telah berlalu dan belum ia tunaikan.
Jika seseorang kurang berbakti kepada kedua orang tua, dia wajib berbakti kepada mereka. Jika seseorang kurang menyambung hubungan kekerabatan, dia wajib menyambung silaturahmi. Jika terjatuh dalam suatu kemaksiatan, dia wajib meninggalkannya dengan segera dan secara langsung, tanpa menunda-nunda sedikit pun.
Syarat keempat, bertekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat tersebut di masa mendatang. Jika Anda berniat mengulangi perbuatan maksiat tersebut ketika memiliki kesempatan, tobat Anda tidak sah. Sebagai contoh, seorang lelaki—wal ‘iyadzu billah—biasa menggunakan hartanya untuk bermaksiat kepada Allah. Ia membeli minuman yang memabukkan, atau bepergian ke suatu daerah untuk berbuat zina—wal ‘iyadzu billah. Suatu saat, ia tertimpa kefakiran dan berkata, ‘Ya Allah, sungguh, aku bertobat kepada-Mu.’ Namun, dia memendam kedustaan. Terselip niat dalam hatinya bahwa jika keadaannya kembali seperti semula, ia akan mengerjakan perbuatan-perbuatan itu lagi.
Syarat kelima, bertobat pada saat tobat masih diterima. Jika seseorang bertobat ketika tobat tidak lagi diterima, tobat tersebut tidak bermanfaat baginya. Saat masih diterimanya tobat ini ada dua macam, yaitu:
- Dilihat dari sisi setiap individu.
- Dilihat dari sisi keumuman manusia.
Adapun yang pertama, seseorang harus bertobat sebelum datangnya ajal. Jika dia bertobat pada saat ajal telah menjemputnya, tobatnya tidak bermanfaat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَيۡسَتِ ٱلتَّوۡبَةُ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّئَِّاتِ حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ إِنِّي تُبۡتُ ٱلۡـَٰٔنَ وَلَا ٱلَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمۡ كُفَّارٌۚ أُوْلَٰٓئِكَ أَعۡتَدۡنَا لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا ١٨
“Dan tidaklah tobat itu diterima oleh Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan, (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertobat sekarang’, tidak pula (diterima tobat) orang-orang yang mati sedangkan mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (an-Nisa’: 18)
Adapun yang kedua, secara umum. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengabarkan, “Amalan hijrah tidak terputus hingga terputusnya amalan tobat, dan amalan tobat tidak terputus hingga terbitnya matahari dari tempat terbenamnya.” (Dinukil secara diringkas dari Syarh Riyadhish Shalihin karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah)
Perintah untuk Bertobat dengan Segera
Saudariku, semoga rahmat Allah atas Anda. Perlu selalu diingat bahwa kesempatan bernapas di dunia ini tidak selamanya ada. Ajal setiap individu telah tercatat di Lauhul Mahfuzh. Bahkan, dunia secara keseluruhan ada batasnya. Hari-hari yang dilewati di dunia ini ada akhirnya.
Berbagai penghalang untuk seseorang beramal saleh sangat mungkin terjadi, dan tidak ada seorang pun yang bisa menjamin akan bisa beramal saleh pada masa yang akan datang. Sungguh, setiap orang telah melewati hari-harinya, dan tidak mungkin ia kembali ke masa yang telah ia lewati. Untuk masa mendatang pun ia tidak mengetahui apakah akan mendapatinya atau tidak.
Jika pada masa ini ia mampu mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, hendaklah ia memuji Allah subhanahu wa ta’alasemata. Sebaliknya, jika ia senantiasa lalai, pasti ia merugi. Waktunya ia lewatkan begitu saja tanpa ia sadari.
Dosa dan kemaksiatan itu pasti membinasakan seseorang dan menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, setiap hamba harus segera lari darinya tanpa menunda waktu. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah kita semua untuk bersegera mengerjakan amalan saleh secara umum, dan segera bertobat secara khusus, sebelum Dia mencabut kesempatan yang telah diberikan-Nya itu. Allah berfirman,
۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣
“Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Rabb kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133)
Hanya dengan tobat, seseorang akan mendapati kembali kebaikan yang telah ia lewatkan di masa lampau. Apabila hari-harinya yang telah lalu dipenuhi berbagai tindakan maksiat, bahkan kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’alasekalipun, jika dia segera bertobat ketika masih ada kesempatan, sungguh dosanya akan diampuni. Hal ini sebagaimana dijanjikan oleh Allah sendiri.
Baik dosa besar maupun dosa kecil yang dilakukan di masa lampau akan terhapus dengan amalan kebaikan, yaitu tobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan senantiasa menjaga dan mengiringinya dengan amalan ketaatan kepada-Nya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala di mana saja dan dalam keadaan apa pun juga; senantiasa iringilah perbuatan kejelekan dengan perbuatan kebaikan, niscaya perbuatan kebaikan itu akan menghapusnya; dan perlakukanlah sesama manusia dengan perangai mulia.” (HR. at-Tirmidzi dengan derajat hasan shahih, dari Abu Dzar z)
Menurut para ulama, makna kata al–hasanah dalam hadits tersebut adalah bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’aladisertai perbuatan baik lainnya. Perbuatan baik akan menghapuskan berbagai kejelekan, berdasarkan firman Allahsubhanahu wa ta’ala,
وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَيِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفٗا مِّنَ ٱلَّيۡلِۚ إِنَّ ٱلۡحَسَنَٰتِ يُذۡهِبۡنَ ٱلسَّئَِّاتِۚ ذَٰلِكَ ذِكۡرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ ١١٤
“Dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Hud: 114)
Jadi, tobat akan menghapuskan seluruh dosa, termasuk dosa kesyirikan dan kekafiran. Itulah salah satu keutamaan tobat yang dianugerahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Untuk Diteladani
Tobat adalah amalan yang seharusnya dilakukan secara kontinu. Sebab, yang teranggap dari amalan adalah akhirnya. Rasul n bersabda, “Hanyalah amalan seorang itu ditentukan oleh akhirnya.”
Telah menjadi sunnatullah bahwa rezeki bisa didapatkan setelah seseorang mendapat izin dari Allah dan berupaya; seperti itu pulalah keselamatan, akan didapatkan setelah ia mendapat izin dari Allah dan berupaya dengan amalan ketakwaan.
Dalam hadits riwayat Muslim rahimahullah dari al-Aghar bin Yasar al-Muzani , ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, aku bertobat kepada Allah setiap hari seratus kali.”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bertobat kepada Allah dengan lisan, anggota badan, dan hati beliau seratus kali setiap hari. Sebaik-baik suri teladan adalah beliau n, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau n. Siapa yang akan kita jadikan teladan? Berapa kali dalam sehari kita bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Ataukah kelalaian-kelalaian yang justru senantiasa menyelimuti kita? Kelalaian adalah pangkal berbagai kesalahan, dan hanya tobat serta terus bertobat-lah yang akan mengobatinya, dalam keadaan kita meneladani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.Wallahul musta’an (hanya Allah-lah yang kita mintai pertolongan).
http://qonitah.com/memperbaiki-kesalahan-yang-telah-lalu/