Ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin
Freedom of the Press. Ya, kebebasan pers. Bebas tanpa batas. Kalau pun ada batas, maka batas itu pun masih ditafsir bebas tiada berbatas.
Freedom of the Press. Deret kalimat ampuh untuk memayungi keberadaan media massa di tengah masyarakat dan di hadapan penguasa. Dengan slogan ‘Kebebasan Pers’ media massa bebas melakukan pemberitaan sesuai misinya. Ungkapan ‘Kebebasan Pers’ sendiri bila ditelisik bukan asli karya anak bangsa Indonesia. Ungkapan itu muncul bersumber dari Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat: “Congress shall make no law… abridging the freedom of speech, or of the press.” (Kongres dilarang membuat hukum… yang membatasi kebebasan berbicara atau pers).
Karena itu, tak aneh bila ‘Kebebasan Pers’ sangat kental beraroma Amerika. Lebih-lebih, lahirnya Undang-undang Pers No. 40/1999 di Indonesia tak lepas dari keterlibatan ahli hukum Article 19, Toby Mendel. Sisi lain, UU Pers No. 40/1999 melandasi dengan Pasal 19 UU HAM: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dengan tidak memandang batas-batas.” (Lihat Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media, Sirikat Syah, hlm. 3—4)
Lengkaplah sudah arti sebuah kebebasan. Bebas menerabas kultur masyarakat Indonesia yang banyak diwarnai norma agamis. Bebas tidak memandang batas-batas. Jadi, media massa pun bebas menyiarkan berita selama ada fakta. Tak memedulikan dampak berita itu di tengah masyarakat. Juga tak memedulikan asas kepatutan dan moral. Sebut saja, siaran televisi berisi talk show yang mengadu domba, sinetron yang menyesatkan dan membodohkan, atau sebuah acara yang menayangkan naluri dan perilaku rendah manusia digali dan diekspos (LihatMembincang Pers, hlm.194), infotainment yang banyak membongkar aib, serta berita yang dikemas sesuai misi meraup dunia dan kekuasaan. Bahkan, tak sedikit yang terang-terangan menyajikan menu yang mengundang syahwat selera rendah.
Media massa telah menjadi alat untuk menyuarakan kebebasan yang tiada kendali. Walau dengan kebebasan itu bakal menimbulkan berbagai kerusakan di tengah masyarakat. Media massa semakin jauh dari kesantunan. Media massa menjadi pupuk penyubur para kapitalis tak berhati lurus.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ١٩
“Sesungguhnya orang-orang yang menginginkan agar (berita) perbuatan yang keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah memberi penjelasan terkait ayat di atas bahwa yang dimaksud “menyukai penyebaran perbuatan keji (al-fahisyah) di kalangan orang-orang beriman” meliputi dua makna:
- Menyukai al-fahisyah tersebar di tengah kaum muslimin.
Terkait hal ini, menyebarkan beragam film cabul dan surat kabar (atau media lainnya –red.) yang jelek, jahat dan porno. Media-media semacam ini, tak diragukan lagi, merupakan media yang menyukai penyebaran al-fahisyah di tengah masyarakat muslimin. Mereka menghendaki timbulnya kerusakan agama pada diri seorang muslim. Tentunya, kerusakan itu timbul melalui sebab perbuatan mereka (yang menyebarkan al-fahisyah) melalui beragam majalah, surat kabar, dan media lainnya. Barang siapa menyukai al-fahisyah itu tersebar di tengah kaum muslimin, dia berhak untuk mendapatkan azab nan pedih di dunia dan akhirat.
- Menyukai al-fahisyah tersebar pada kalangan tertentu, bukan lingkup masyarakat Islam secara menyeluruh.
Balasan bagi yang berbuat demikian ialah diazab di dunia dan akhirat. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, I/598)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menyebutkan pula bahwa musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani, musyrikin, komunis, dan para kaki tangannya sangat bersemangat menebarkan godaan wanita di tengah kaum muslimin. Mereka menyerukan tabarruj, mendedahkan aurat wanita, menghasung ikhtilat, mengajak pada kerusakan akhlak. Mereka dengan gencar menyuarakan semua itu melalui media yang mereka miliki, baik secara lisan maupun tulisan. Mereka mengetahui, ini merupakan godaan terbesar yang akan menjadikan manusia lupa kepada Rabb dan agamanya. Semua itu bisa terjadi melalui pintu godaan wanita. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, 1/48)
Membincang fitnah wanita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan perihal itu, sebagaimana diungkap hadits Usamah bin Zaidradhiallahu ‘anhu,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tiada fitnah sepeninggalku kelak yang lebih membahayakan (selain godaan) wanita terhadap laki-laki.” ( HR. al-Bukhari no. 5096, Muslim, no. 97)
Apa yang terjadi kini? Makar orang kafir untuk menghancurkan kaum muslimin di antaranya dengan memperalat kaum wanita. Lebih memprihatinkan lagi, banyak kaum muslimah tidak menyadari bahwa dirinya diperalat untuk kepentingan busuk orang-orang kafir. Hingga kaum muslimah berbondongbondong menjajakan diri, memamerkan kecantikan dan kemolekannya, guna dipasarkan oleh kaum kafir melalui media mereka. Nas’alullaha as-salaamah.
“Hendaknya, kita jangan tertipu oleh seruan orang-orang yang berbuat kejelekan dan kerusakan dari kalangan yang membebek orang-orang kafir. Mereka mengajak untuk berikhtilath (membaurkan antara wanita dan laki-laki). Sebab, sungguh itu ajakan setan. Wal ‘iyadzu billah,” demikian penjelasan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al- ’Utsaimin rahimahullah.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kaum wanita untuk menghadiri Shalat ‘Id di lapangan. Namun, tidak menyatukan (membaurkan) antara kaum wanita dan laki-laki. Para wanita dikumpulkan secara khusus di satu tempat yang terpisah dari kaum laki-laki,” kata beliau rahimahullah lebih jelas. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, 1/674—675)
Propaganda ala Yahudi
Dalam lintasan sejarah terpatri nama Abdullah bin Saba. Sosok pria keturunan Yahudi kelahiran Kota Shan’a, Yaman. Hidupnya menampakkan seorang muslim, namun yang terpendam dalam hatinya; permusuhan dan kebencian nan sengit kepada Islam dan kaum muslimin. Hidupnya nomaden, selalu berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Di setiap wilayah yang disinggahinya senantiasa menebarkan pemahaman sesatnya.
Abdullah bin Saba memompa masyarakat dengan propaganda licik. Menyemai permusuhan dalam tubuh umat agar membenci penguasa muslim, yaitu Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Upaya menghasut kaum muslimin yang dilakukan Yahudi satu ini, digalang di beberapa daerah. Bashrah, Kufah, Syam, Hijaz, dan Mesir adalah lahan garap untuk menumbuhsuburkan kebencian umat kepada pemerintahan kaum muslimin.
Saat pergerakannya tidak menampakkan hasil yang memuaskan, sang Yahudi ini beralih menuju Mesir. Di tempat ini ia melancarkan makarnya. Penduduk Mesir dihasut. Ia tebar beragam informasi menyesatkan. Dalam tempo yang dirasa tepat, penduduk Mesir itu pun digerakkan menuju Kota Madinah.
Aksi provokasi Yahudi telah memerdaya umat. Kebencian, permusuhan, dan kemarahan telah menyelimuti. Mereka tiada segan untuk menekan dan melawan Amirul mukminin, sahabat mulia, menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan khalifah, Utsman bin Affanradhiallahu ‘anhu. Mata hati mereka telah terkunci. Hawa nafsu mencengkram kukuh, menggelapkan pandangan akal mereka. Terjadilah apa yang terjadi. Para demonstran mengepung kediaman Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Suplai makanan dan minuman dihentikan. Khalifah beserta keluarga dikungkung.
Akhir dari konspirasi jahat ini, terbunuhlah Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Tikaman pedang mengoyak tubuh sahabat mulia ini. Tetesan darah seorang syahid membasahi mushaf al-Qur’an. Tindak angkara murka telah menodai sejarah umat Islam. Melalui beragam media yang dikuasai, Abdullah bin Saba’ berhasil merekrut para pengikutnya untuk berbuat anarkis. Sebuah tindak zalim menjijikkan. Persekongkolan jahat telah membuahkan malapetaka. Kekacauan melingkupi umat. Semua tercatat dalam lembaran hitam kelam sejarah umat. Ingat, Yahudi di balik semua peristiwa bersimbah darah ini. (Lihat Mukhtashar Sirah ar-Rasul, asy-Syaikh Muhammad bin Abdilwahhab, hlm. 218)
Begitulah watak Yahudi. Lihai melakukan beragam hilah (tipu muslihat). Dahulu, kaum Yahudi melakukan hilah sebagai upaya menolak kebenaran. Mereka tak segan melakukan tipu muslihat dalam rangka menjaga kekufuran dan kesesatan yang diyakininya. Mereka lakukan tipu muslihat lantaran tak mampu secara kesatria dan terang-terangan menunjukkan hujahnya. Karena itu, seringkali mereka berbuat makar secara sembunyi-sembunyi.
Ketika Perang Badr usai, manusia berbondong-bondong memeluk Islam. Orang-orang Yahudi pun tak kuasa menghalanginya. Lalu, orang-orang Yahudi di Madinah membuat makar. Mereka ucapkan, “Masuklah Islam saat awal siang. Jika telah akhir siang, murtadlah kalian dari Islam. Katakan, ‘Kami tak memperoleh kebaikan dalam agama Muhammad.’ Niscaya orang akan mengikuti jejak kalian karena kalian ahli kitab.”
Makar Yahudi ini dibongkar Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya,
وَقَالَت طَّآئِفَةٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ ءَامِنُواْ بِٱلَّذِيٓ أُنزِلَ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَجۡهَ ٱلنَّهَارِ وَٱكۡفُرُوٓاْ ءَاخِرَهُۥ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٧٢
“Sekelompok ahli kitab (kepada sesamanya) berkata, ‘Perlihatkanlah (seolah-olah) kalian beriman pada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).” (Ali Imran: 72)
Makar Yahudi Kini
Yahudi kerap kali memanfaatkan media guna menyusupkan pemahamannya. Melalui media, disusupkanlah pemahaman-pemahaman yang mengagungkan kaum kafir. Diopinikan, seakan persenjataan dan kelengkapan militer orang-orang kafir itu canggih dan tak ada yang mampu menandinginya.
Propaganda melalui tayangan telivisi, misalnya, bisa berakibat menumbuhkan jiwa inferior (minder, merasa kecil dan tak berdaya) pada sebagian kaum muslimin di hadapan kaum kafir. Seakan-akan orang-orang kafir itu hebat, sedangkan kaum muslimin lemah. Seakan-akan kaum kafir itu unggul, sedangkan kaum muslimin tersisih.
Secara perlahan namun pasti, nilai-nilai itu tertanam dalam benak sebagian kaum muslimin. Mereka mengelu-elukan kehidupan orang-orang kafir, bahkan meniru gaya hidup mereka dan membuang ajaran Islam. Begitu dahsyat pengaruh media massa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ لَوْ دَخُلُوا حُجْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh kalian akan mengikuti jejak orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Andai mereka masuk ke lubang dhab (binatang sejenis reptil), niscaya kalian akan mengikutinya. Ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nasranikah?’ Jawabnya, ‘Siapa lagi?’” ( HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Dunia film, sinetron, drama dengan segala bentuk aktingnya menjadi daya tarik. Sebagian kaum muslimin bahkan tergiur dengan pertunjukan akting tersebut. Lebih tragis, ada sekelompok aktivis dakwah yang melabelkan diri dengan sebutan “salaf” pun turut berakting. Melalui sarana televisi yang dikelolanya, mereka tayangkan bentuk-bentuk drama berdurasi pendek. Setapak demi setapak program siaran televisi yang dikelolanya telah membuka celah untuk mengikuti jejak Yahudi dan Nasrani.
Melalui tayangan televisi yang dikelola mereka terkuak pintu petaka. Di antara pemirsa yang sebagiannya para ibu, mulai tergoda. Para ibu muda belia yang masih bersuami ini mulai berceloteh tentang sang ustadz, tentang baju yang dikenakan sang ustadz, tentang sesuatu yang membangkitkan daya tarik.
Siapa yang bisa menjamin hati bisa tetap selamat? Siapa pula yang bisa menjamin bulir-bulir syahwat tak akan bersemi di lubuk hati terdalam?
Kala pintu fitnah itu dikuak semakin terbuka, saat itu rindu dan cinta membara. Syahwat pun menggelora. Nafsu bergejolak. Telah tiadakah kecemburuan di relung hati sang suami kala celoteh sang istri berucap tentang pria lain? Melalui televisi yang dikelolanya, mereka tengah menabur badai. Nas’alullaha as-salamah.
Propaganda ala Munafikin
Peristiwa itu terjadi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari peperangan Bani Musthaliq. Adapun Bani Musthaliq itu sendiri merupakan salah satu nama kabilah dari rumpun kabilah Khuza’ah. Bani Musthaliq menetap di wilayah Qudaid, berdekatan dengan mata air al-Muraisi.
Setelah kaum muslimin berhasil menaklukan pasukan Bani Musthaliq, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pasukan kaum muslimin pulang ke Madinah. Saat tiba di satu daerah dekat Madinah, beliau beserta pasukannya beristirahat. Turut dalam rombongan pasukan istri beliau, Aisyahradhiallahu ‘anha. Kala malam tiba, beliau dan pasukannya bergerak meninggalkan tempat itu menuju Madinah.
Namun, saat pasukan itu bergerak. Aisyah radhiallahu ‘anha tidak bersama mereka. Aisyah radhiallahu ‘anha tertinggal. Itu terjadi tatkala Aisyahradhiallahu ‘anha telah menunaikan keperluannya, lalu terasa kalungnya terjatuh. Maka, ia pun segera kembali ke tempat tadi untuk mencari kalungnya. Akhirnya, setelah dicari, kalung itu pun ditemukannya. Ia pun bergegas kembali ke rombongan pasukan. Namun, ternyata rombongan pasukan telah berangkat menuju Madinah. Aisyah radhiallahu ‘anha tertinggal.
Lantas Aisyah radhiallahu ‘anha berdiam diri di tempatnya semula. Harapannya, rombongan pasukan yang bersamanya mengetahui kalau dirinya tertinggal lalu kembali ke tempat itu. Saat menunggu, Aisyah radhiallahu ‘anha tertidur.
Dalam waktu bersamaan, ada juga seorang sahabat bernama Shafwan bin al-Mu’aththal as-Sulami radhiallahu ‘anhu tertinggal dari pasukannya. Ia tertinggal lantaran tertidur dan tidak diketahui oleh anggota pasukan lainnya. Maka, ketika ia bergerak mengejar rombongan pasukan, Shafwan radhiallahu ‘anhu melihat sesuatu. Ia dekati. Ternyata, yang ada di hadapannya adalah Aisyah radhiallahu ‘anha.
Saat itu perintah berhijab belum turun sehingga Shafwan radhiallahu ‘anhu mengenali bahwa itu adalah Aisyah radhiallahu ‘anha. “Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’uun, seorang istri Rasulullah?” Kata-kata itu terucap olehnya.
Aisyah radhiallahu ‘anha pun terbangun lalu menutupkan jilbab ke wajahnya.
Shafwan pun mendekatkan untanya. Setelah Shafwan dudukkan binatang tunggangannya, Aisyah radhiallahu ‘anha pun menaikinya. Shafwan berjalan di depan binatang tunggangannya seraya memegang tali kendali. Ia berjalan cepat tanpa berkata sepatah kata pun. Hingga kemudian dirinya berhasil mengejar rombongan pasukan di satu daerah bernama Nahru azh-Zhahirah.
Abdullah bin Ubay, sang munafik, melihat hal itu. Akal busuknya langsung bergerak. Kebenciannya nan memuncak mendapat angin untuk dimuntahkan. Ia langsung mencari informasi. Menampung beragam berita. Menyebarkannya. Dengan gencar provokasi dilancarkan. Tuduhan keji pun dilontarkan. Aisyah radhiallahu ‘anha dituduh melakukan maksiat. Masyarakat pun goncang. Bara telah menyala.
Keadaan runyam di tengah kaum muslimin tentu menyenangkan orang-orang munafik di Madinah. Kesempatan untuk menggunjing rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah menguat. Fitnah berkecamuk.
Namun, makar orang-orang munafik itu hancur berserak setelah wahyu turun. Aisyah radhiallahu ‘anha dinyatakan suci bersih. Tuduhan keji tiada terbukti. Bahkan, Allah ‘azza wa jalla mengancam para penyebar berita dusta nan keji dengan ancaman mengerikan. Firman-Nya,
إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١١
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan itu ada baiknya (hikmahnya) bagi kalian. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam menyiarkan berita bohong itu, maka baginya siksa yang besar.”(an-Nur: 11)
Upaya Menghancurkan Agama Allah ‘azza wa jalla
Orang-orang kafir dan munafik tiada henti untuk menghancurkan agama Allah ‘azza wa jalla. Semenjak dahulu hingga sekarang makar itu terus berlangsung. Mereka hendak memadamkan cahaya Islam melalui beragam media yang dimilikinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يُرِيدُونَ لِيُطۡفُِٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (ash-Shaf: 8)
Untuk menghancurkan akhlak kaum muslimin, orang-orang kafir, dan munafik merancang strategi dengan menerbitkan majalah, tabloid, surat kabar, dan media audio-visual, seperti televisi, yang menyuguhkan kisah-kisah berselera rendah. Menampilkan gambar-gambar seronok. Menyajikan informasi yang membangkitkan birahi.
Sementara itu, dalam dunia sosial politik ditebar beragam berita yang merendahkan penguasa, bahkan mencela dan mencacatnya. Walau pun mereka membungkusnya dengan kemasan kata “mengkritisi” atau dengan bahasa “pers sebagai alat kontrol sosial”.
Dampak dari media semacam ini, masyarakat terdidik untuk suka mencela pemerintah. Padahal tindakan demikian bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ
“Barang siapa yang merendahkan (menghina, mencela) penguasa Allah ‘azza wa jalla di muka bumi, Allah ‘azza wa jalla akan merendahkan (menghinakan)nya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2224, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 2296)
Demikian pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحُ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قُبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati penguasa karena satu perkara, hendaknya jangan melakukannya di hadapan publik (secara terbuka). Akan tetapi, lakukanlah dengan cara mengambil tangannya lantas (menasihatinya) di tempat tersembunyi bersamanya (tidak dipublikasikan). Jika ia menerima (nasihat)nya, itulah (yang diharap). Jika tidak menerima nasihatnya, sungguh nasihat itu telah sampai kepadanya.” (HR. Ahmad dari Syuraih bin Ubaid radhiallahu ‘anhu)
Adapun untuk menebar kerancuan memahami Islam, sejumlah media telah getol menyuguhkannya. Pemahaman Islam Liberal, Syiah, Mu’tazilah dijajakan dalam beragam bentuk, baik secara terang-terangan maupun melalui cara halus tersembunyi. Bahkan, ada sebuah terbitan yang menyediakan halaman khusus.
Selain itu, media pun kerapkali menggiring masyarakat untuk membenci dan tak menyukai orang-orang yang menampakkan syiar-syiar keislaman. Peristiwa terorisme dijadikan kuda tunggangan untuk menghantam orang-orang yang berpegang teguh kepada Islam yang benar. Tak sedikit media yang tak mampu membedakan siapa teroris dan siapa yang benar-benar mengamalkan Islam secara baik dan benar. Satu contoh, tuduhan Wahabi identik terorisme seringkali dilontarkan media. Padahal, bila ditelisik, pengelola media itu sendiri tidak memahami sejatinya apa dan bagaimana Wahabi itu. Tragis!
Kini, tampak di hadapan kita betapa banyak anggota masyarakat yang tak mengindahkan bimbingan Islam yang mulia ini. Senyatanya, inilah yang dikehendaki orang-orang kafir dan munafik. Mereka menghendaki agar ajaran Islam ditinggalkan oleh umatnya. Dengan begitu Islam tiada menyinari kehidupan manusia. Begitulah makar orang-orang kafir dan munafik. Wal ‘iyadzu billah.
Namun, yang menjaga Islam adalah Allah ‘azza wa jalla. Kesucian dan keberadaannya dipelihara Allah ‘azza wa jalla. Betapa pun busuk makar orang-orang kafir dan munafik, Allah ‘azza wa jalla tetap akan menampakkan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Kebenaran akan tetap tampak walau orang-orang kafir, munafik, musyrik membencinya.
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ ٩
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya.” (ash-Shaf: 9)
Hati-hati memilih media. Sebab, hal ini menyangkut keselamatan agama yang ada pada kita.
Allahu a’lam.
Repost & Broadcast :
Channel Telegram WA BMS - Whatsapp Belajar Manhaj Salaf