SYIRIK MAHABBAH
Memang, sedemikian besar pengaruh mahabbah pada jiwa setiap manusia. Yang tentunya setiap dari mereka terutama seorang muslim yang telah mengikrarkan Laa Ilaaha lIlallah hendaklah benar-benar mencermati perkara yang ternyata rentan terhadap tauhidnya ini. Jangan sampai dia tidak memahami permasalahan urgent yang tidak sedikit kaum muslimin di tengah-tengah kita tertimpa kerancuan di dalamnya.
Tidak ada jalan yang lebih selamat dan hikmah melainkan dengan menelaah ilmu yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan bimbingan para ulama, yang mereka paling tahu dan jujur di dalam menjelaskan kedua wahyu yang agung tersebut.
Adapun upaya yang mereka tempuh di dalam menerangkan pembahasan ini kepada kita adalah membagi bentuk-bentuk mahabbah di dalam karya-karya berharga mereka. Sehingga sangat disayangkan kalau terdapat seorang muslim tersesat disebabkan tidak mampu memilah pembagian tadi. Wallahul Musta’an.
Mahabbah secara garis besar terbagi menjadi tiga macam. Yang ini semua merupakan rangkuman dari keterangan Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah di dalam dua karya besar beliau “Al Jawabul Kafi” hal. 450-451 dan “Thoriqul Hijratain” hal. 295-296, Asy Syaikh Sulaiman Alu Syaikh di dalam “Taisirul ‘Aziizil Hamid” hal. 389, Asy Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’di di dalam “Al Qoulus Sadid” hal. 112-113 dan Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di dalam “Al Qoulul Mufid” 2/141-142 rahimahumulloh, dengan beberapa keterangan tambahan.
Macam mahabbah yang pertama ini bukanlah pembicaraan kita di sini. Namun sangat penting untuk kita singgung dan perhatikan seiring betapa banyak saudara-saudara kita tergelincir di dalam perkara ini, baik disadari maupun tidak.
Yaitu mahabbah yang seseorang condong kepada apa yang diinginkannya secara tabiat kemanusiaannya. Seperti kecintaan dan keinginannya kepada perkara-perkara mubah yang di antaranya Allah ? sebutkan di dalam ayat-Nya :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ من النِّسَاءِ وَ البَنِيْنَ وَ الْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ من الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ وَ الْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَ الأَنْعَامِ وَ الْحَرْثِ ذَالك مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَ اللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia untuk mencintai apa-apa yang diingini dari wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan kehidupan dunia dan di sisi Allah adalah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imran: 14) dan juga ayat-ayat lainnya yang tidak sedikit jumlahnya.
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ أَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَ اللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ
“Hanyalah harta-harta dan anak-anak kalian adalah ujian. Dan yang di sisi Allah adalah balasan kebaikan yang besar.” (QS. At Taghabun: 15).
Jangan sampai mahabbah ini sampai menghalangi seseorang dari ketaatan kepada Rabb-Nya. Allah ? tegaskan :
يَأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمِْوَالُكُمْ وَ لاَ أَوْدُكُمْ عَنْ ذِكْرِاللهِ
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah harta-harta dan anak-anak kalian menghalangi dari dzikir kepada Allah”. (QS. Al Munafiqun: 9).
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِا لنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amalan-amalan kebaikan itu tergantung dengan niatnya. Dan hanyalah bagi seseorang balasan sesuai dengan apa yang diniatkan”. (Muttafaqun ‘Alaih).
Mahabbah ini terwujud pada diri seseorang kepada sesuatu yang memang dicintai Allah baik berupa manusia, seperti para nabi, rasul, orang-orang mukmin, atau amalan, seperti sholat, zakat, amalan-amalan kebaikan, ataupun waktu, seperti bulan Ramadhan, seperti hari-hari terakhir di bulan tersebut, ataupun tempat seperti masjid-masjid Allah, Ka’bah dan selainnya.
مَنْ أَحَبَّ للهِ وَ أَبغَضَ للهِ وَ أَعْطَى للهِ وَ مَنَعَ للهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيْمَانُ
“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, menahan pemberian karena Allah, maka telah sempurnalah keimanannya”. (H.R. Abu Dawud dengan sanad yang dishahihkan Asy Syaikh Al Albani di dalam As Shahihah no. 360).
Tidaklah berlebihan bila macam mahabbah yang kedua ini merupakan penyempurna dan konsekuensi mahabbah seseorang kepada Allah, iman dan tauhidnya. Wa Lillahil Hamdu.
Mahabbah ini adalah mahabbah ibadah yang menyebabkan seorang hamba menundukkan hatinya untuk mengagungkan Dzat yang dia cintai, mentaati dengan sebenar-benar ketaatan di dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya di atas seluruh makhluk-Nya.
Bila mahabbah ibadah ini diberikan kepada selain Allah, maka ini termasuk perbuatan syirik kepada Alloh ?.
Memang demikianlah kedudukan mahabbah di dalam lingkup ibadah. Kalaulah seseorang beribadah tanpa disertai mahabbah maka jadilah dia beribadah tanpa ruh yang menggerakkan hati untuk menghadap Allah ?.
Bahkan mahabbah sendiri merupakan faktor penggerak hati terkuat untuk senantiasa menghadap Allah dibandingkan khauf (rasa takut dari adzab Allah) dan roja’ (rasa harap terhadap rahmat-Nya).
: أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Ketahuilah sesunggunya wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan (di kehidupan akhirat mendatang) dan tidak pula sedih (dari kehidupan dunia yang dia tinggalkan).” (QS. Yunus : 62).
Yang diinginkan dari khauf adalah menghindari dan mencegah dari keluarnya seorang hamba dari jalan kebaikan. Adapun mahabbah mendorong seseorang untuk menempuh jalan menuju Dzat yang dia cintai tersebut. Sesuai dengan lemah dan kuatnya kadar mahabbah, dia menempuh jalan tersebut. Sedangkan khauf dialah yang mecegahnya untuk keluar dari jalan tadi. Adapun roja’ membimbingnya dalam menempuh jalan tersebut. Maka ini adalah suatu asas yang agung. Wajib bagi setiap hamba untuk memperhatikannya. Karena tidaklah terwujud penghambaan diri (kepada Allah) tanpa dengannya. Padahal setiap orang wajib untuk menjadi hamba Allah bukan selain-Nya”.
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu-sekutu yang mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dan orang-orang yang beriman lebih besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165).
وَ الَّذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًا للهِ
Memiliki makna bahwa orang-orang yang beriman lebih tinggi kecintaannya kepada Allah ? daripada kecintaan orang-orang musyrikin tadi kepada Allah. Karena kecintaan orang-orang mukminin murni untuk Allah sedangkan kecintaan orang-orang musyrikin terdapat unsur penyekutuan antara Allah dan selain-Nya.
Pendapat pertama nampaknya lebih dekat kepada kebenaran berdasarkan konteks ayat itu sendiri. Pendapat ini dipilih oleh Al Imam Ath Thobari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dan Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah.
وَ إِذّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوْبُ الذِّيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِالآخِرَةِ وَ إِذَا ذُكِرَ الَّذِيْنَ من دُوْنِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُون
“Dan bila disebut nama Allah saja kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Namun bila disebut sekutu-sekutu selain Allah tiba-tiba mereka langsung bergembira.” (QS. Az Zumar: 45)
ِAllah ? berfirman :
“Hanyalah apa yang kalian jadikan sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah ? itu, kalian saling mencintai di kehidupan dunia saja. Lantas pada Hari Kiamat sebagian kalian dengan sebagian yang lainnya saling mengingkari dan melaknat. Dan An Naar lah tempat tinggal kalian.” (QS. Al Ankabut: 25).
Bila mereka telah tinggal di An Naar maka dengarkanlah suatu kepastian dari Allah :
“Dan tidaklah mereka bisa keluar dari An Naar.” (QS. Al Baqarah: 167). “Ya Allah selamatkan kami semua dari An Naar.”
Soal : Apa tanda-tanda seorang hamba itu mencintai Rabbnya ? ?
“Sebenarnya pertanyaan di atas dapat di jawab apabila kita membaca awal-awal pembahasan ini dengan seksama. Namun tidak berlebihan bila kita bawakan jawaban seorang alim yaitu Asy Syaikh Hafidz bin Ahmad Al Hakami rahimahullah di dalam Kitab A’lamus Sunnah Al Mansyurah hal. 31, beliau menjawab :
Tanda-tandanya adalah seorang hamba mencintai apa yang Dia cintai, membenci apa yang Dia benci, menunaikan perintah-perintah-Nya menjauhi larangan-larangan-Nya, mencintai wali-wali-Nya, membenci musuh-musuh-Nya. Oleh karena itu tali iman yang paling kokoh adalah mencintai dan benci di jalan Allah”.
Kita katakan: ”Jawaban akhir beliau tersebut didasarkan pada sebuah hadits Ibnu Abbas, beliau berkata : “Rasulullah ? bertanya kepada Abu Dzar tali iman apa-aku (pariwayat hadist) menduga – yang paling kokoh ? Dia (Abu Dzar) menjawab : Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Beliau ? bersabda : “
المُوَالاةُ فىِ اللهِ وَ المُعَادَاةُ فىِ اللهِ وَ الحُبُّ فىِ اللهِ وَ البُغْضُّ فىِ اللهِ
“Saling mencintai di jalan Allah, saling membenci di jalan-Nya, mencintai dan membenci di jalan-Nya. (Diriwayatkan Ath Thabrani dan dihasankan Asy Syaikh Al Albani di dalam Ash Shahihhah no. 998 dan 1728)
Wallahu A’lam bish Showab
┏============✍🏻============┓
📋BELAJAR MANHAJ SALAF📋
✿ Channel & Whatsapp ✿
┗============✍🏻============┛
📕❁ Berbagi Faedah Ilmu Syar'i sesuai KITABULLOH wa SUNNAH
dalam meniti AL-HAQ ❁📌
http://telegram.me/belajarmanhajsalaf
http://bit.ly/belajarmanhajsalaf
🌐 Situs kami :
http://wa-bms.blogspot.co.id
http://assalafiyyat.blogspot.co.id
http://muslimahsalafiyat.blogspot.co.id
🌠•❁Dapatkan artikel-artikel terbaru ilmu Syar'i pada situs kami di atas,
semoga bermanfaat ❁•🌠
•❁┈┈┈┈┈••••🍃🌹💐🌹🍂••••┈┈┈┈┈❁•