Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Salah satu bentuk gencarnya Syiah mengampanyekan pahamnya sekaligus usaha mereka melegalisasi keyakinannya adalah melalui seruan Taqrib Baina Sunni wa Syi’i (Pendekatan Antara Sunni dan Syi’ah). Sebenarnya gagasan ini adalah misi lama dari Khomeini, dan setelah dua puluh tahun meninggalnya, pendekatan antara Sunni-Syiah terus berjalan.
Sebelumnya, di Mesir upaya taqrib ini telah digagas. Sebuah lembaga yang bernama “Dar al-Taqrib bayna al-Madzahib al-Islamiyah”, didirikan oleh Mahmud Syaltut, Wakil Rektor Universitas al-Azhar pada 1957 M. Lembaga ini adalah sebuah institusi yang berusaha mewujudkan pendekatan dan persaudaraan serta menghilangkan perselisihan dan perpecahan yang ada antara Ahlus Sunnah dan Syiah. Lembaga ini juga memiliki misi memperkuat hubungan antara mazhab-mazhab Islam; sebuah pusat pergerakan yang pada akhirnya menjadi dasar pikiran berdirinya “Majma-e Jahoni-e Taghrib-e Mazaheb-e Islami” (Forum Internal Pendekatan Mazhab-Mazhab Islam) di Iran. Selain Mahmud Syaltut, Muhammad Mustafa Maraghi, Ayatullah Burujerdi, Hasan al-Banna juga menjadi penggagas ide pendekatan antara Sunni-Syiah.
Senin, 5 Nopember 2012, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar bekerjasama dengan Kedutaan Besar Republik Iran, mengadakan seminar internasional dengan tema “Persatuan Umat Islam Dunia (International Seminar of Islamic World Unity)” di Auditorium Al-Jibra Kampus II UMI.
Yang menjadi narasumber pada seminar tersebut adalah pihak pemerintah diwakili oleh Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA; Nahdatul Ulama (NU) diwakili oleh mantan ketuanya selama dua periode, Dr. K.H. Hasyim Muzadi; Muhammadiyyah diwakili oleh Ketua Umum Muhammadiyyah saat ini, Dr. Din Syamsuddin; Majelis Ulama Pusat, diwakili oleh sang motor penggerak persaudaraan Sunni-Syiah, Prof. Dr. Umar Shihab, MA; pihak Syiah sendiri diwakili oleh Sekjen Majma’ Taqrib Bayna Madzahib, Muhammad Ali Taskhiri, Maulawi Ishak Madani, dan Dr. Mazaheri. Seminar tersebut juga dihadiri oleh Dubes Iran untuk Indonesia, Mahmoud Farazandeh. Tampil pula Prof. Dr. Ghalib MA, Wakil Koordinator Kopertis Wilayah VIII.
Nama-nama yang tercantum di atas secara umum menyerukan persatuan sebagaimana tema seminar itu sendiri. Dubes Iran dalam sambutannya mengajak para peserta untuk bercermin pada ritual haji. Para hujjaj mengenakan baju dengan warna yang sama, shalat di mesjid yang sama, menghadap pada kiblat yang sama, serta bersama-sama berthawaf di sekeliling Ka’bah. Inilah contoh konkret bahwa pada dasarnya umat Islam itu memiliki kesamaan yang sangat esensial.[1]
Adapun Wamenag RI, Nasaruddin Umar, mengutip sebuah perkataan, “Orang yang sering menyalahkan orang lain adalah orang yang sedang belajar, tetapi orang yang tidak mau menyalahkan orang lain adalah orang yang telah khatam belajar.”
Adapun Prof. Din Syamsuddin, memandang pentingnya persatuan Sunni-Syiah, karena umat Islam saat ini berada dalam kubang keterbelakangan, hanya sibuk menyalahkan antara satu dan yang lain, serta mengklaim hanya dirinyalah yang benar lalu tidak mau menerima kebenaran orang lain. Orang-orang seperti ini, menurut Ketua Muhammadiyyah ini, nanti akan menjadi orang kecele di surga.[2]
Pada Konferensi Islam Sedunia yang berlangsung pada 4—6 Mei 2008 lalu di Teheran, yang dihadiri sekitar 400 orang dari berbagai belahan dunia, Din Syamsuddin yang berbicara pada sesi pertama bersama enam tokoh lainnya, menegaskan bahwa antara Sunni dan Syiah ada perbedaan tetapi hanya pada wilayah cabang (furu’iyat), tidak pada wilayah dasar agama (akidah). Keduanya berpegang pada akidah Islamiah yang sama, walau ada perbedaan derajat penghormatan terhadap Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Oleh karena itu, lanjutnya, kedua kelompok harus terus melakukan dialog dan pendekatan. Seandainya tidak dicapai titik temu, perlu dikembangkan sikaptasamuh atau toleransi.
Tokoh lain yang tidak boleh dilupakan, yang begitu semangat menyuarakan pendekatan Sunni-Syiah, adalah Quraish Shihab. Dalam bukunya yang berjudul Sunni-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?, ia mengatakan, “Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada dua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab, di mana pun ditemukan adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam hal ushul (prinsip-prinsip dasar keimanan), tidak juga dalam rukun-rukun Islam[3].” (cet. 1 hlm. 265)
Sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa Islam telah merumuskan jalan kepada umatnya untuk membangun persatuan dan kesatuannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
Ayat ini adalah perintah untuk berpegang teguh kepada tali Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, serta bersatu di atas petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala. Tidaklah terjadi perpecahan dan perbedaan melainkan karena jauh dari pemahaman atau keyakinan ini.
Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah harus dijadikan sandaran oleh umat Islam ketika terjadi perselisihan dan perbedaan cara pandang atau penafsiran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan/ulama) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59)
Akan tetapi, metode ini tentu hanya akan berlaku bagi penganut Islam yang sesungguhnya, yang berjalan di atas petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun orang yang mengaku beragama Islam padahal sejatinya musuh Islam, maka wajib dibongkar keadaannya, agar umat Islam tahu tentang permusuhannya terhadap Islam, dan tidak ada celah baginya untuk menempuh metode ini.
Sunni atau Sunnah dan Syiah atau tepatnya Rafidhah, adalah dua kutub yang berlawanan, dua kelompok yang berbeda dan dua ideologi yang bertentangan. Antara keduanya tidak akan ada titik temu.
Mazhab Ahlus Sunnah berdiri di atas keyakinan mengutamakan para sahabat secara umum, dan mengutamakan sahabat Abu Bakr dan Umar atas seluruh umat, serta meyakini bahwa khalifah setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakr.
Begitupun dalam soal tauhid, mazhab mereka adalah beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada yang maksum (terjaga dari kesalahan) selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada yang maksum dari umat ini selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun Rafidhah, mazhabnya berdiri di atas kebencian kepada para sahabat, bahkan memvonis mereka semua sebagai orang fasik dan kafir, kecuali beberapa orang saja.
Maka dari itu, seruan pendekatan antara Sunni-Syiah, atau Sunnah dan Rafidhah, menyerupai seruan pendekatan antara Nasrani dan Islam. Sudah pasti, kekafiran dan keislaman adalah dua hal yang berlawanan, tidak akan bersama. Demikian pula halnya antara sunnah dan bid’ah.
Kelompok Rafidhah adalah kelompok yang paling jelek di tengah-tengah umat ini. Di samping prinsip-prinsip dasarnya adalah kekufuran, kelompok ini juga diwarnai oleh prinsip-prinsip dasar Mu’tazilah dan Tasawuf, yaitu praktik syirik di kuburan. Kelompok Rafidhah dibangun di atas dasar keyakinan ekstrem kepada ulama dan imam-imamnya. Mereka membangun kubah di atas kuburan-kuburannya dan melakukan ritual haji ke kuburan-kuburannya, persis seperti ritual haji ke Baitullah al-Haram.
Maka dari itu, yang menyuarakan pendekatan antara Sunnah dan Syiah, boleh jadi tidak mengetahui hakikat kedua mazhab itu, atau berpura-pura tidak tahu dan bodoh. Umumnya, orang yang menyuarakan pendekatan Sunni-Syiah itu membuat pengaburan, penipuan, dan pembodohan. Apabila ada dari kalangan Sunni yang melakukannya, mereka adalah orang-orang yang tertipu. Ia mengira bahwa perselisihan dan perbedaan antara Sunnah dan Syiah layaknya perbedaan antara mazhab-mazhab fikih, seperti Hambali, Syafi’i, Maliki, dan Hanafi.
Asy-Syaikh al-Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Pendekatan antara Rafidhah dan Ahlus Sunnah adalah hal yang tidak mungkin karena akidah yang berbeda. Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dan mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada sesuatu pun yang diibadahi bersama Allah subhanahu wa ta’ala, baik malaikat yang terdekat maupun nabi yang diutus, dan meyakini bahwa hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang mengetahui perkara gaib.
Termasuk akidah Ahlus Sunnah adalah mencintai para sahabat g, dan meyakini bahwa mereka makhluk yang paling baik setelah para nabi, dan yang paling baik di antara mereka adalah Abu Bakr ash-Shiddiq, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali g. Adapun Rafidhah, menyelisihi semua itu. Jadi, tidak mungkin menyatukan keduanya. Sebagaimana tidak mungkin menyatukan antara Yahudi dan Nasrani, musyrikin dan Ahlus Sunnah, maka demikian pula tidak mungkin adanya pendekatan antara Rafidhah dan Ahlus Sunnah, karena perbedaan akidah seperti yang telah dijelaskan di atas.” (Majmu’ul Fatawa Ibnu Baz)
[1] Sesungguhnya, prinsip yang benar dalam menilai antara sesuatu dan yang lain bukan melihat dari sisi kesamaannya. Jika demikian, antara Islam dan Yahudi pun ada kesamaan. Akan tetapi, kita justru melihat kepada perbedaan-perbedaan yang mendasar. Dan antara Sunnah dan Syiah terdapat perbedaan mendasar yang sangat banyak,. Rukun Islam dan dan rukun iman pun sudah berbeda. (-ed.)
[2] Prinsip mengkritik sesuatu yang keliru adalah prinsip yang benar menurut agama dan akal sehat, dan ini disepakati oleh semua orang yang berakal. Sebab, tanpa kritik ini, semua yang salah bisa dianggap benar.
Pernyataan di atas sangat berbahaya dalam bidang apapun, terlebih lagi dalam hal agama. (-ed.)
[3] Ucapan ini jelas keliru. Sebab, rukun-rukun Islam menurut Syiah berbeda dengan rukun-rukun Islam menurut kaum muslimin yang lain. LIhat Rubrik Kajian Utama, Asy Syariah edisi 092, “Syiah dan Imamah”. (-ed.)
http://asysyariah.com/mereka-membela-syiah/