MEWASPADAI SUFI
Tasawuf diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Penganutnya disebut Shufi (selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, red), dan jamaknya adalah Sufiyyah. Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 11/5)
Jadi, lafazh Sufi bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di jaman Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, karena nisbat kepadanya adalah SHUFFI.
Bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena nisbat kepadanya adalah SHAFFI.
Demikian juga bukan nisbat kepada makhluk pilihan Allah karena nisbatnya adalah SHAFAWI.
Dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab) meski secara lafadz bisa dibenarkan. Namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.
Para ulama Bashrah yang mengalami masa kemunculan kelompok sufi ini, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullahdengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwa telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Maka beliau berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al-Masih bin Maryam! Maka petunjuk Nabi kita lebih kita cintai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 5, 6, 16) Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Demikianlah munculnya jahiliyyah Tasawuf, dan dari kota inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 5)
Ibnu ‘Ajibah, seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwa peletak Tasawuf adalah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau, menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah Ta’ala melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang hal ini dengan sekian banyak bumbu keanehan dan kedustaan, yaitu: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa ilmu syariat. Ketika ilmu itu telah mantap, turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal. 5 dinukil dari At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 8)
“Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan TUDUHAN KEJI lagi LANCANG terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Dengan kedustaan, ia menuduh bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammenyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang ZINDIQ yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu. Karena Allah Ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya:
“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika engkau tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah: 67)
Hanya saja beliau pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara.’ Abu Thufail berkata: ‘Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin?’ Beliau menjawab: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘(Artinya) Allah melaknat seseorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah’.” (At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8)
Dari bahasan di atas, jelaslah bahwa Tasawuf BUKAN ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan BUKAN PULA ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu.
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini.
Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tashawwuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28)
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam memerangi Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)
Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwa ajaran Tasawuf BUKAN dari Islam. Bahkan ajaran ini merupakan KUMPULAN dari AJARAN-AJARAN SESAT yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.
1 WIHDATUL WUJUD, yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.
Demikian juga AL-HULUL, yakni keyakinan bahwa Allah Ta’ala dapat masuk ke dalam makhluk-Nya.
Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang (yang sedang) makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)
“Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.”
(Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
“Berkatalah Musa: ‘Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku’…” (Al-A’raf: 143)
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam). Betapa KUFURnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?
Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).3
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93)
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).
Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau mengingkari seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahui dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkan berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99: yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwa perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)
Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian’.”
Beliau melanjutkan: “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418)
“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (‘Ali Imran: 131)
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (‘Ali Imran: 133)
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik dzikir adalah Laa ilaha illallah.” (HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1104).7
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Barangsiapa beranggapan bahwa Laa ilaha illallahadalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah / Huwa, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-’Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)
Allah Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya:
“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)
Padahal Allah Ta’ala berfirman :
“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)
Padahal Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut.
Wallahu a’lam bish shawab.
http://asysyariah.com/mewaspadai-sufi/