Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah ditanya:
“Apakah melafadzkan niat termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama (bid‘ah), sementara di dalam kitab Al-Umm disebutkan keterangan hal ini secara samar (yakni niat harus dilafadzkan)? Jelaskan pada kami tentang permasalahan ini.
Jawab:
Melafadzkan niat teranggap sebagai perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid‘ah), sementara Allah subhanahuwata’ala telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:
“Katakanlah: Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah tentang agama kalian?” (Al-Hujurat:16)
Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang salah shalatnya:
“Apabila engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah.”
Di sini beliau tidak mengatakan kepada orang tersebut: “Katakanlah: () aku berniat” (sebelum mengucapkan takbir).
Ketahuilah bahwa ibadah shalat, wudhu`, dan juga ibadah-ibadah yang lainnya memang tidak sah kecuali dengan niat. Oleh karena itu dalam pelaksanaan ibadah seluruhnya haruslah ada niat, berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam:
Namun perlu diketahui, tempat niat itu di hati dan keliru apabila dikatakan bahwa di dalam kitab Al-Umm disebutkan tentang melafadzkan niat. Ini salah, bahkan hal ini tidak ada di dalam kitab Al-Umm tersebut. (Ijabatus Sa-il, hal. 27)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah:
Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bila berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali.
Beliau juga tidak mengatakan:
Aku tunaikan untuk Allah shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum. Demikian pula ucapan () atau () ataupun (). Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam baik dengan sanad yang sahih, dha’if, musnad (bersambung sanadnya) atau pun mursal (terputus sanadnya). Bahkan tidak ada nukilan dari para shahabat. Begitu pula tidak ada salah seorang pun dari kalangan tabi’in maupun imam yang empat yang menganggap baik hal ini.
Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang sekarang) keliru dalam memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah subhanahuwata’ala meridhainya– tentang shalat.
Beliau mengatakan: “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan dzikir.” Mereka menyangka bahwa dzikir yang dimaksud adalah ucapan niat seorang yang shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah subhanahuwata’ala merahmatinya– dengan dzikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram.
Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i menyukai perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi shalallahu’alaihi wa sallam dalam satu shalat pun, begitu pula oleh para khalifah beliau dan para shahabat yang lain. Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan ketundukan dan penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari pembawa syariat shalallahu’alaihi wa sallam. (Zadul Ma’ad, 1/201)