.

Yang Terbaru

Berwudhu dengan Bimbingan Syariat

fikih-ibadah-8Al-Ustadz Utsman
Berwudhu dengan Bimbingan Syariat (Bagian Pertama)
Bersuci dalam rangka menghilangkan hadats[1] ada tiga macam: (1) wudhu, (2) mandi, dan (3) tayammum sebagai pengganti wudhu dan mandi. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan ketiganya dalam satu ayat, yaitu dalam firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٦
Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak berdiri untuk shalat, basuhlah wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai ke siku; usaplah kepala kalian; dan (basuhlah) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki. Jika kalian dalam keadaan junub, bersucilah. Jika kalian sakit, atau dalam keadaan safar, atau setelah buang air, atau setelah ‘menyentuh’ wanita, kemudian kalian tidak mendapatkan air, bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik, yaitu usaplah wajah dan tangan-tangan kalian. Allah tidak menginginkan sesuatu yang memberatkan kalian, tetapi Dia ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian sehingga kalian bersyukur.” (al-Maidah: 6)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah, dalam Tafsir beliau, menyebutkan lebih dari lima puluh faedah hukum yang bisa diambil dari ayat ini. Akan kami sebutkan faedah yang terkait dengan bahasan kali ini, yaitu masalah wudhu. Di antara yang beliau sebutkan adalah:
  • Mengamalkan hal-hal yang disebutkan oleh ayat ini adalah konsekuensi iman, sehingga tidak sempurna iman seseorang tanpa mengimani dan mengamalkannya. Sebab, dalam ayat ini Allah k menyeru orang-orang yang beriman, bukan selain mereka.
  • Thaharah merupakan syarat sahnya shalat. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah orang yang hendak shalat untuk bersuci, sedangkan hukum asal dari suatu perintah adalah wajib.
  • Thaharah tidak wajib dengan sekadar masuknya waktu shalat.
  • Setiap shalat, baik yang wajib—termasuk yang fardhu kifayah—maupun yang sunnah, dipersyaratkan thaharah padanya. Bahkan, sekadar sujud, seperti sujud syukur dan sujud tilawah, juga disyaratkan thaharah menurut pendapat banyak ulama.
  • Anjuran untuk tajdid al-wudhu (memperbarui wudhu)[2] setiap akan shalat sehingga kita lebih sempurna dalam melaksanakan ibadah yang diperintahkan kepada kita.
  • Perintah untuk membasuh wajah. Batas-batasnya secara vertikal adalah dari tempat tumbuhnya rambut yang normal[3] sampai ke ujung dagu; dan secara horizontal adalah dari telinga ke telinga[4].
Termasuk membasuh wajah adalah berkumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) berdasarkan tuntunan yang disebutkan oleh as-Sunnah. Demikian pula membasuh rambut-rambut yang tumbuh di wajah. Jika rambut yang tumbuh di wajah ini tipis[5], diwajibkan sampainya air ke bagian kulit; jika rambut tersebut tebal, cukup dibasuh bagian luar rambut.
  • Perintah untuk membasuh kedua tangan sampai siku. Siku ikut dibasuh karena kewajiban membasuh ini tidak akan sempurna melainkan dengan membasuh seluruh bagian siku.
  • Perintah untuk mengusap kepala.
  • Yang wajib adalah mengusap seluruh kepala karena huruf ba’[6] tidak menunjukkan makna tab’idh (yang diusap sebagian kepala saja).[7]
  • Yang wajib dilakukan pada kepala adalah pengusapan. Oleh karena itu, jika seseorang membasuh atau mengguyur kepalanya dengan air tanpa mengusapnya, berarti dia belum melakukan hal yang diperintahkan oleh Allahsubhanahu wa ta’ala.
  • Mengusap kepala ini tidak harus menggunakan kedua tangan, tetapi boleh dengan satu tangan saja atau dengan selain tangan (seperti kain).
  • Perintah untuk membasuh kedua telapak kaki sampai ke mata kaki. Tidak boleh mengusap kedua telapak kaki saja tanpa membasuhnya selama keduanya terbuka.
  • Perintah untuk melakukan wudhu dengan tertib dan berurutan.
  • Perintah untuk tertib ini hanya berlaku pada keempat anggota wudhu yang tersebut dalam ayat mulia tersebut. Adapun tertib/berurutan di antara berkumur, istinsyaq, dan membasuh wajah; demikian pula tertib dalam hal membasuh bagian kanan tangan ataupun kaki lebih dahulu sebelum bagian kiri, ini semua tidak wajib, tetapi mustahab (sunnah).[8]
  • Thaharah lahiriah untuk anggota badan menggunakan air adalah penyempurna thaharah batiniah (kalbu) dengan tauhid dan tobat yang benar.
  • Ketika Allah subhanahu wa ta’ala memilihkan hukum-hukum syariat untuk kita, Dia sama sekali tidak ingin memberatkan kita. Sebaliknya, syariat Allah adalah bentuk rahmat dan kesempurnaan nikmat-Nya bagi kita.
Tata Cara Wudhu Menurut Sunnah Nabi
Sebagai penyampai syariat Allah kepada umat manusia, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga telah mencontohkan tata cara wudhu yang benar kepada kita. Walhamdulillah, para sahabat telah mengisahkan kepada kita tata cara wudhu yang mereka saksikan dan dengar langsung dari uswah kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama pun bersemangat mengumpulkan hadits-hadits tentang tata cara wudhu Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam.
Di antara hadits yang cukup lengkap menggambarkan tata cara wudhu adalah hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhuBahkan, hadits ini disebut ‘umdah (pedoman) tata cara wudhu. Selain itu, ada pula hadits dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim, ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘Amr, dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum.
Berdasarkan ayat ke-6 dari surat al-Maidah dan berdasarkan banyak hadits, para ulama merumuskan bahwa wudhu memiliki rukun-rukun dan sunnah-sunnah.
Rukun Wudhu
  1. Berniat[9] wudhu untuk menghilangkan hadats[10] atau untuk mengerjakan shalat. Niat ini tidak perlu dilafadzkan/diucapkan.
  2. Membasuh wajah, termasuk berkumur[11] dan istinsyaq (menghirup air ke hidung).[12]
  3. Membasuh kedua tangan sampai ke siku.
  4. Mengusap seluruh kepala[13] dan kedua telinga. Tata cara mengusap kepala yang dicontohkan oleh Nabishalallahu ‘alaihi wassalam adalah mengambil air yang baru untuk mengusap kepala, bukan air sisa membasuh kedua tangan ( Muslim). Setelah itu, beliau mengusap mulai dari tempat tumbuhnya rambut di bagian depan, menyapukan tangan sampai ke ujung rambut di bagian belakang kepala, kemudian mengusapkan kembali tangan dari belakang ke depan sampai ke tempat awal mengusap (HR. al-Bukhari dan Muslim). Setelah itu, beliau mengusap telinga tanpa mengambil air lagi (HR. al-Bukhari dan Muslim). Ketika mengusap telinga, beliau memasukkan jari telunjuk untuk mengusap bagian dalam telinga, sedangkan ibu jari mengusap bagian luar telinga[14].
  5. Membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki.
  6. Dalil dari rukun ke-1 sampai ke-6 sudah jelas dari pemaparan ayat di atas.
  7. Berturut-turut[15]. Artinya, penyucian anggota-anggota wudhu dilakukan segera setelah anggota sebelumnya disucikan, tidak ditunda-tunda dan tidak diselingi dengan perbuatan lain yang tidak perlu[16]. Dalilnya, wudhu adalah ibadah yang berupa satu kesatuan, tidak terpisah antara bagian satu dan bagian lainnya, dan demikianlah Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa mencontohkannya kepada kita.
Mengapa Hanya 4 Anggota Badan yang Menjadi Anggota Wudhu?
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, dalam karya beliau yang berjudul Miftah Daris Sa’adah, menjelaskan bahwa di antara hikmah Allah subhanahu wa ta’ala mengkhususkan empat anggota tubuh saja sebagai anggota wudhu adalah:
  • Keempatnya adalah tempat berkumpulnya indra manusia.
  • Keempatnya adalah anggota tubuh manusia yang paling banyak bersinggungan langsung dengan maksiat sehingga kotoran dosa lebih banyak menempel pada keempatnya dibandingkan dengan anggota tubuh lainnya.
  • Keempatnya adalah anggota tubuh yang paling banyak dipakai untuk beraktivitas sehingga lebih kotor—karena debu atau kotoran lain yang menempel—daripada anggota tubuh lainnya.
  • Keempatnya adalah anggota tubuh yang paling mudah dicuci sehingga tidak memberati seorang hamba ketika harus mencucinya berulang kali dalam sehari semalam.
Mengapa Kepala Hanya Diusap, Tidak Dibasuh?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan, di antara hikmah diusapnya kepala dalam ibadah wudhu, dan tidak perlu dibasuh[17], “Ini merupakan kemudahan dari Allah bagi para hamba-Nya. Sebab, pada umumnya kepala ditumbuhi rambut, sedangkan sifat rambut adalah menyerap air. Jika kepala harus dibasuh, akan banyak air tertahan di kepala dan terserap ke dalam tubuh. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan, lebih-lebih pada saat cuaca dingin.”
Sunnah-sunnah Wudhu
            Di antara sunnah-sunnah wudhu adalah:
  1. Membasuh kedua telapak tangan tiga kali sebelum berwudhu ( al-Bukhari dan Muslim).
  2. Menghemat pemakaian air wudhu. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam berwudhu dengan air seukuran satu mud(seukuran dua telapak tangan yang disatukan, tidak terlalu dibuka dan tidak terlalu terkatup) ( al-Bukhari danMuslim)[18]. Penghematan air ini tentu disesuaikan dengan kondisi. Jangan sampai karena semangat menghemat air, seseorang ingin mencontoh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tetapi melupakan sesuatu yang wajib. Misalnya, wajah tidak dibasuh, tetapi hanya diusap. Yang demikian tidak benar. Wallahu a’lam.
  3. Membasuh anggota wudhu dua atau tiga kali. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pernah berwudhu dan membasuh anggota wudhu yang harus dibasuh (wajah, tangan, kaki) sebanyak tiga kali ( al-Bukhari dan Muslim). Pernah pula beliau membasuhnya masing-masing dua kali (HR. al-Bukhari). Pernah pula beliau membasuh sebagiannya tiga kali dan yang lain dua kali (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Adapun mengusap kepala, yang dituntunkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam adalah sekali saja.
  1. Bersiwak atau menggosok gigi sebelum berwudhu ( al-Bukhari dan Muslim).
  2. Mendahulukan membasuh tangan kanan, baru tangan kiri; demikian pula ketika membasuh kaki ( al-Bukhari danMuslim).
  3. Membaca zikir setelah wudhu, sebagaimana dalam hadits,
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ، فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوُضُوءَ، ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ؛ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya kemudian mengucapkan أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ melainkan akan dibukakan baginya delapan pintu surga, dia bisa memasukinya dari pintu mana saja yang dia mau.” (HR. Muslim)
[1] Hadats adalah suatu sifat dalam diri seseorang yang menyebabkan dia tidak boleh melakukan ibadah yang harus dilakukan dalam keadaan suci darinya sampai dia mengangkat/menghilangkan hadats itu.
[2] Misalnya, seseorang berwudhu untuk shalat zhuhur, lalu mengerjakan shalat zhuhur dan wudhunya tidak batal sampai datang waktu shalat asar. Dalam keadaan ini disunnahkan baginya berwudhu lagi walaupun wudhunya untuk shalat zhuhur belum batal.
[3] Ini sebagai patokan bagi mereka yang botak dan yang semisalnya.
[4] Dari batasan ini, sangat penting untuk kita tidak lupa membasuh kulit yang terletak di antara telinga dan rambut yang tumbuh di wajah (merupakan bagian dari jenggot pada kaum pria).
[5] Dikategorikan tipis jika kulit masih terlihat.
[6] Yakni dalam firman-Nya ﭞ.
[7] Sunnah nabawiyah menunjukkan bahwa beliau n mengusap seluruh kepala beliau, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim z.
[8] Bahkan, asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa mengusap kepala terlebih dahulu lalu mengusap telinga termasuk sunnah.
[9] Sebagian ulama memasukkan niat sebagai syarat sahnya wudhu, bukan rukunnya.
[10] Ada perbedaan mendasar antara menghilangkan hadats dan menghilangkan najis. Menghilangkan najis tidak dipersyaratkan niat, sebagaimana sudah dikemukakan pada pembahasan menghilangkan najis.
[11] Apakah disyaratkan memutar-mutar air di dalam mulut ketika berkumur? Jika air yang dimasukkan ke mulut untuk berkumur itu sedikit, perlu diputar-putar di dalam mulut agar mengenai seluruh bagian dalam mulut. Adapun jika airnya banyak, seluruh bagian dalam mulut sudah terbasahi walaupun air tidak diputar-putar sehingga tidak disyaratkan memutar-mutar air.
[12] Berkumur dan istinsyaq dilakukan sekaligus dari satu cidukan tangan, dan yang sunnah adalah dilakukan tiga kali, baru membasuh wajah.
[13] Batas kepala yang dimaksud di sini adalah tempat tumbuhnya rambut. Jadi, jidat, leher, dan tengkuk tidak termasuk di dalamnya.
[14] HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan lainnya. Asy-Syaikh al-Albani menyebutkannya dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
[15] Diistilahkan dengan muwalah, yang oleh sebagian ulama diartikan bahwa anggota wudhu harus disucikan sebelum anggota wudhu sebelumnya mengering. Misalnya, tangan harus sudah dibasuh sebelum wajah mengering. Ini semua dengan ukuran bahwa cuacanya pertengahan, tidak terlalu lembab (sehingga anggota wudhu tidak segera mengering), dan tidak terlalu kering (sehingga anggota wudhu lebih cepat mengering).
[16] Yang dimaksud tindakan yang tidak perlu di sini adalah perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan wudhu. Misalnya, ketika seseorang berwudhu dan sudah membasuh wajah, tiba-tiba mendengar bayinya menangis. Kemudian, dia sibuk menenangkan bayinya hingga kering wajahnya. Dalam hal ini dia harus mengulang wudhunya dari awal. Sebaliknya, jika perbuatan yang menyelingi wudhu itu terkait dengan wudhu itu sendiri, dia boleh melanjutkan wudhunya. Misalnya, setelah membasuh wajah dan akan membasuh kedua tangan, dia mendapati di jari tangannya ada cat yang menempel sehingga menghalangi sampainya air ke kulit. Akhirnya, dia sibuk menghilangkan cat tersebut dari kulitnya sampai kering wajahnya. Dalam kondisi ini dia boleh melanjutkan wudhu dan langsung membasuh tangannya.
[17] Hakikat perbedaan antara pengusapan dan pembasuhan adalah bahwa pada pembasuhan/pencucian, disyaratkan adanya air yang mengalir ke anggota wudhu, sedangkan pada pengusapan, tangan cukup dibasahi lalu diusapkan ke kepala.
[18] Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa berwudhu dari timba/gayung lebih baik daripada berwudhu dari keran air. Sebab, menggunakan air dari keran memungkinkan terbuangnya air secara sia-sia dalam jumlah lebih banyak, kecuali jika seseorang mau bersabar dengan cara mengambil air dari keran, lalu menutup keran dengan salah satu jarinya, baru kemudian membasuh wajah, lalu membuka keran lagi untuk membasuh kedua tangan, dst.
https://qonitah.com/berwudhu-dengan-bimbingan-syariat/