KISAH MUALLAF LAUJE
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Tak terasa, perjalanan dakwah suku Lauje sudah masuk bulan ke sebelas. Kendala dan rintangan silih berganti menghadang Dakwah terhadap muallaf Lauje. Hanya karena pertolongan Allah semata dakwah ini masih bisa berlanjut hingga sekarang. Walaupun di sana-sini masih banyak kekurangan yang butuh pembenahan.
PEMBANGUNAN MASJID SELESAI
Pada akhir bulan Sya’ban 1435 lalu, pembangunan masjid muallaf telah berhasil diselesaikan. Segala pujian kesempurnaan tertuju kepada Al-Khaliq, yang hanya karena pertolongan-Nya masjid bisa selesai terbangun. Masjid dengan ukuran 8×8 m dengan lantai dan dinding papan sudah bisa dipakai untuk shalat dan mengaji oleh para muallaf. Beralaskan karpet merah, jendela kaca, dengan kusen dan daun pintu dari kayu jati, masjidnya tergolong ”mewah” untuk masjid di gunung Lauje, demikian pengakuan beberapa warga gunung. Nama Masjidnya adalah Masjid Al-Hidayah, sesuai dengan tujuan didirikannya, yaitu sebagai sarana meraih hidayah bagi para muallaf in syaa Allah. Pak Andi selaku ketua DKM menginginkan masjid bisa diresmikan untuk persiapan ibadah bulan Ramadhan. Maka Pak Andi mengundang beberapa kepala desa sekitar dan para imam masjid, juga Pak Camat. Surat undanganpun dilayangkan kepada mereka. Qaddarallah di waktu yang sama, hampir seluruh kepala desa dan camat sedang ada pertemuan di kantor pemerintah kabupaten Parigi. Merekapun tidak bisa hadir pada peresmian masjid. Para imam desa juga tidak ada yang hadir. Wallahu a’lam apakah lantaran berbagai isu fitnah yang disebarkan orang yang tidak bertanggung jawab atau ada sebab lainnya.
Akhirnya peresmian masjid hanya dihadiri oleh beberapa warga muallaf dan seorang mubalig sekaligus kepala sekolah Madrasah Al-Khairat desa Pebo Unang, yang lebih dikenal warga dengan nama Ustadz Ramli. Beliau memberikan kata sambutan dan menyemangati ikhwah dan para muallaf agar tidak berkecil hati untuk terus melanjutkan dakwah di gunung. Beliau menyampaikan simpati dan dukungan sepenuhnya terhadap dakwah. Kata sambutan beliau cukup mengharukan hingga beberapa ikhwah menitikkan air mata. Memang pasca tersebar derasnya isu fitnah, sekalipun ikhwah dari Poso sudah bersusah payah berganti-gantian datang membangun masjid dan mengajak warga Lauje, ternyata yang mau mendekat dari kalangan muallaf tidak lagi seperti dulu. Memang para Da’i cuma bisa menyampaikan, adapun hidayah adalah mutlak di tangan Allah semata. Alhamdulillah masih ada beberapa muallaf yang mau mendekat. Karena rumah-rumah mereka yang jauh dari masjid, maka terkadang sebagian mereka tidak hadir, terlebih ketika turun hujan.
ISU DUSTA DAN FITNAH TERUS MENERPA DAKWAH
Hari demi hari berbagai isu dan tuduhan fitnah masih terus menghadang perjalanan dakwah kepada muallaf. Memang dari sejak kedatangan pertama para Da’i Poso, tuduhan-tuduhan yang diluar dugaan terhadap para Da’i terus berkembang diantara warga gunung. Sebagian muallaf-pun terkena imbasnya, karena sedemikian mudahnya mereka terpengaruh dengan kabar-kabar dusta yang mereka dengar. Hampir setiap kabar yang mereka dengar, mereka langsung mempercayainya. Akibatnya mereka mulai menjauh. Berikut beberapa isu dusta yang sempat sampai kepada kami :
- Adalah Doda, seorang nasrani Lauje mengaku-ngaku dibayar oleh para Da’i Poso untuk memasang bom pada 20 rumah. Katanya dia dibayar uang 100ribu untuk setiap bom yang dia pasang. Setelah menyebarkan berita dusta ini, dia dicari-cari Pak Andi, tapi dia raib entah kemana.
- Mereka (yakni para Da’i) merubah-rubah shalat.
- Mereka berwudhu cuma di cuci ujung-ujung jari saja.
- Shalatnya lama sekali, sampai saya habis satu batang rokok belum selesai shalatnya. (pengakuan salah satu warga dusun Pungsu dengan dusta).
- Tersebar berita, ada warga Pebo Unang yang dikejar dengan parang oleh pria tak dikenal yang memakai jubah.
- Mereka yang dari Poso bakar-bakar anjing dan kucing untuk dimakan di pinggir jalan gunung.
- Shalat mereka menghadap ke timur.
- Shalat mereka ada yang pakai cadar.
- Katanya ditemukan dua belas sumbu bom tak bertuan dipinggir jalan gunung, tapi ketika diusut sumber beritanya, tidak jelas.
- Di desa Pebo Unang (desa tetangga), tersebar isu kalau para Da’i Poso itu makan babi.
- Isu kalau mereka yang dari Poso adalah aliran keras wahabi.
- Mereka itu aliran yang membunuh para keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Mereka yang membunuh para shahabat.
- Mereka kalau malam berkeliaran di sekitar gunung melakukan kegiatan rahasia.
- Mereka melaksanakan shalat sambil bermain-main, setelah buang angin, mereka tidak berwudhu lagi.
- Beberapa muallaf yang berangkat ke Poso katanya diajari membunuh, nanti kalau pulang ke Lauje, mereka akan membunuh warga di gunung.
Pembaca yang dirahmati Allah, itu baru sebagian isu yang sampai kepada kami, tidak menutup kemungkinan masih ada yang lainnya yang tersebar pada warga gunung.
PEMBANGUNAN PEMUKIMAN MUALLAF DISEKITAR MASJID DIMULAI
Tatkala masjid sudah selesai berdiri, beberapa muallafpun mulai mempersiapkan diri pindah mendekat ke masjid, diantara mereka adalah keluarga Pak Andi, Pak Erwin, Pak Aji, Pak Nanihati dan Papa Nur.
Bulan Syawal lalu, Pak Andi dan beberapa warga muallaf mulai bekerja bakti menggali meratakan tanah untuk rumah-rumah mereka, hal ini karena kontur tanah sekitar Masjid lumayan miring. Terkadang Pak Andi dan dua anak laki-lakinya yang sudah dewasa terus melanjutkan penggalian hingga jam sebelas malam. Mereka terus menggali dan meratakan tanah di bawah cahaya bulan.
Rupanya ada beberapa warga yang hasad. Mereka membuat fitnah dengan melapor kepada kepala desa Dongkalan, bahwasanya para muallaf di gunung membuat galian-galian di samping masjid untuk menanam bom. Berita dusta ini terus menerus dihembuskan dan dilaporkan kepada kepala Desa.
KADES, CAMAT DAN BUPATI IKUT TERHASUT ISU FITNAH
Akhirnya kepala desapun termakan isu fitnah pula. Subhaanallah, sepulangnya para dai ke Poso, ternyata Pak Upik dan Pak Tahar serta warga muallaf lainnya semakin mendapat tekanan dan teror dari sebagian warga. Lebih-lebih kepala Desa dalam berbagai pertemuan dan rapat menyampaikan kepada warga, kalau para Da’i Poso itu adalah pengikut ISIS dan teroris yang berbahaya. Anehnya, walau cuma sekali, kepala desa belum pernah naik melihat langsung galian di samping Masjid, akan tetapi beliau terus ikut menebarkan isu fitnah tersebut. Bahkan beliau menyatakan, kegiatan dakwah para Da’i Poso mesti dihentikan. Beliau juga memerintahkan Pak Arsyad untuk tidak menyambut kedatangan para Da’i di rumahnya. Alhamdulillah Pak Arsyad selalu menyambut kedatangan para Da’i di rumahnya.
Bahkan kepala Desa menyebarkan tuduhan fitnah ini melalui rapat-rapat di kantor desa juga melalui ceramah-ceramahnya ketika ada pesta pernikahan warga, akhirnya fitnahpun semakin meluas dan banyak warga semakin terhasut. Tak sampai disitu, selain kepada Pak Camat, Kepala desapun melaporkan hal itu kepada kepolisian sektor Palasa. Maka tidak lama, datanglah dua orang anggota intel ke rumah Pak Arsyad untuk memfoto dan menginterogasi beberapa hal kepada beliau. ”Wah, saya ini sudah seperti tersangka Pak ustadz,” ujar Pak Arsyad penuh kecemasan. Pertanyaan dan sikap para anggota polisi tersebut sangat menyudutkan Pak Arsyad.
Demikian pula dua orang intel itu juga datang ke masjid Al-Hidayah sambil mengambil gambar. Kata Tete Izam, ”Wajah mereka penuh curiga dan tidak bersahabat.”
Setelah kades melapor kepada Pak camat, Pak camat pun melanjutkan laporannya kepada Bupati Parigi. Akhirnya bapak Bupati juga terpengaruh. Sehingga ketika beliau membuka acara STQ di kecamatan Palasa, beliau sempat menyampaikan statement, ”Hati-hati kalian, sekarang sudah ada ISIS yang naik ke gunung di kecamatan Palasa. Mereka kini telah membangun sebuah masjid di gunung dan berhasil mengelabuhi Polisi.” semua yang hadir langsung memahami kalau yang dimaksud bapak Bupati adalah para Da’i Poso yang telah membangun Masjid Al-Hidayah. Akhirnya banyak warga berkesimpulan, kalau para Da’i Poso yang berdakwah itu adalah benar-benar para anggota ISIS yang berbahaya. Karena yang menyatakan demikian adalah bapak Bupati langsung.
Akhirnya isu fitnah yang menerpa dakwah menyebar luas sampai ke luar kecamatan Palasa.
ANCAMAN MEMBAKAR MASJID
Melihat kondisi ini, beberapa Da’i menghadap Kapolres Parimo, guna meminta perpanjangan ijin dakwah, serta meminta solusi dari problem dakwah Lauje. Akan tetapi Kapolres Parimo tidak begitu merespon keinginan para Da’i tersebut. Sepertinya Pak Kapolres juga terpengaruh dengan statement bapak Bupati.
Fitnahpun semakin hebat menerpa dakwah.
Karena memikirkan isu fitnah ini, Pak Andi sempat mengalami depresi, tidak bisa tidur, serta pusing kepala hebat. Sampai beliau minum tiga bungkus puyer obat sakit kepala. Demikian pula Pak Upik sempat ingin mundur dari mengajar mengaji anak-anak di gunung dan pindah tinggal di kampung bawah. Akan tetapi Pak Tahar (Tete Izam), ayahnya, menasihati untuk tetap bersabar dan tabah dalam menjalankan dakwah ini. Alhamdulillah akhirnya Pak Upik berusaha bersabar melanjutkan perjuangan ini.
Yang akhirnya intensitas fitnah semakin bertambah. Sampai terdengar kabar dari Sofi, pria nasrani yang tinggal dekat Masjid Muallaf, dia mendengar dari seorang warga Pebo Unang, kalau ada warga Pebo Unang yang hendak membakar masjid muallaf.
Sofi memang selama ini baik kepada para jamaah Masjid. Dia selalu datang menimba air di Masjid dan bercengkrama dengan Pak Upik dan Pak Tahar. Melihat ancaman kepada masjid, Sofi sempat mengatakan kepada warga Pebo unang yang menyampaikan kabar akan dibakarnya masjid tersebut, ”Tolong sampaikan kepada orang yang mau bakar masjid, penghuni masjid itu tidak punya sumpit (beracun), hanya saya yang punya sumpit. Kalau ada yang mau bakar masjid, saya akan sumpit dia,” demikian pungkasnya sembari menyatakan dukungan terhadap dakwah ini.
Sofi memang pernah mengutarakan keinginannya masuk Islam. Tapi karena alasan mertuanya yang masih nasrani, dia takut kalau disuruh cerai dari istrinya jika masuk islam, akhirnya dia belum masuk Islam. ”Nanti saya bujuk mertua dulu untuk masuk islam, nanti saya ikut,” katanya ringkas kepada Tete Izam. Semoga Allah memberikan hidayah kepadanya.
AKHIRNYA ALLAH MEMBERI JALAN KELUAR
Melihat kondisi semakin kritis, terlebih ada ancaman pembakaran masjid, sementara perjumpaan dengan kapolres Parimo masih juga belum membuahkan hasil, akhirnya beberapa da’i berupaya menghadap Kapolda Sulteng di Palu. Merekapun mendatangi kantor Polda. Qaddarallah Kapolda ketika itu hendak berangkat tugas ke Jakarta. Sehingga beberapa Da’i menghadap Direktur Intel Polda Sulteng, dengan ditemani Ustadz Ramli selaku tokoh masyarakat desa Dongkalan juga pak Andi sebagai wakil muallaf. Alhamdulillah setelah para Da’i mengutarakan masalah dakwah di Lauje, Pak Direktur Intel merespon bagus. Lebih-lebih ketika pak Direktur Intel mengetahui bagaimana dakwah Ahlussunnah yang ikut membantu menghadang laju terorisme. Akhirnya Pak Direktur Intel memanggil Kasubdit Intel3 Pak AKBP Usman untuk membantu meluruskan berita tuduhan ISIS terhadap para Da’i Poso yang berdakwah di gunung Lauje. Qadarullah AKBP Usman dari tahun 1997 pernah bertugas di Poso, sehingga sedikit banyak beliau mengetahui berbagai sisi dakwah Ahlussunnah di Poso. ”Mereka bukan teroris, mereka butuh di dukung dakwahnya,” kata beliau.
Akhirnya besok lusanya, AKBP Usman berangkat ke desa Dongkalan kecamatan Palasa guna mengumpulkan warga dan para tokoh masyarakat untuk menjelaskan tentang Keberadaan para dai Poso yang berdakwah di Lauje.
Maka pertemuan pun berlangsung di kantor desa Dongkalan, pada hari Rabu 8 Okt 2014 pada jam 10.00-12.00 WITa dihadiri oleh, Kasubdit 3, Pak Camat Palasa, KUA, Kapolsek Palasa, Kapolsek Tinombo, Kbo Intel Res Parimo, Ustadz Abu Mus’ab selaku wakil dai Poso, Kades dan Sekdes Dongkalan, seluruh kepala Dusun 1,2,3,4,5,6 Dongkalan, Tokoh Agama, Toko Masyarakat, Tokoh Adat Dan Masyarakat jumlahnya 55 Orang.
Yang memberi pengarahan : Kasubdit3 AKBP Usman, Pak Camat, dan Pak KUA. Kesimpulan hasil pertemuan adalah :
- Membuat Surat Edaran ditanda tangani oleh Camat Palasa dan KUA lalu dibacakan di setiap Mesjid di Desa Dongkalan sebelum shalat Jumat bahwa keberadaan para Da’i dari Poso tidak ada penyimpangan. Selama ini, mereka ikut membantu Pemerintah dan Aparat dalam menangani kelompok radikal.
- Setiap bulan melaporkan hasil kegiatan Dakwah para Da’i kepada Camat, KUA, Kapolsek, Kapolres agar Pemerintah, Aparat dapat memantau dan mengontrol kegiatan tersebut.
Pak KUA juga mengatakan, ”Selama para dai Poso ini mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah, maka saya mendukung mereka dari muka dan dari arah belakang. Syiar Islam itu harus didukung,”demikian ungkapan dukungan Pak KUA.
Selang beberapa hari setelah pertemuan itu, Pak Camat, kades, sekdes dan tokoh masyarakat melaksanakan shalat jumat di Masjid Gunung Al-Hidayah. Setelah shalat, Pak Camat menyampaikan penjelasan kepada banyak warga yang hadir, akan pentingnya pembinaan warga gunung semisal yang dilakukan oleh para dai Poso. Bahkan beliau menyatakan : ”Semestinya kalian bersyukur, tatkala ada ustadz-ustadz yang mau membina warga di gunung. Sedikitpun mereka tidak meminta imbalan dalam mengajar warga.” Lalu beliau mengingatkan, ”Dahulu KUA yang lama pernah mengadakan program pembinaan warga gunung, yang pengajarnya digaji oleh pemerintah sekian ratus ribu per bulannya, ternyata pembinaan tidak bisa berlanjut. Apalagi sampai bisa membangun sebuah masjid seperti ini. Semestinya kalian bersyukur bisa ada masjid dan pembinaan di gunung ini,”demikian himbauan Pak Camat. Beliau sempat mengatakan, ”Hampir-hampir air mata saya menetes tatkala terharu mendengar kumandang suara adzan di gunung ini.” Karena memang baru pertama di gunung Solongan ini berhasil terbangun Masjid.
Beliau juga menyampaikan, kalau Bapak Bupati sudah diberitahu hasil pertemuan dengan utusan Polda terkait keberadaan para Da’i Poso, baik via telpon, sms dan ketemu beliau langsung.
Akhirnya bapak Bupati menyatakan dukungan kepada pembinaan warga di gunung ini yang dilakukan oleh para Da’i Ahlussunnah ini. Bahkan Pak Camat bersedia memediasi kalau para Da’i ingin bertemu bapak Bupati guna menjelaskan visi dan misi dakwah Ahlussunnah kepada beliau.
Alhamdulillah, setelah ada penjelasan dari utusan Polda juga dari Pak Camat, semua pihakpun memahami permasalahan yang sebenarnya. Milik Allah-lah segala Pujian. Akhirnya masa-masa sulitpun berlalu. Para muallaf merasa lega dan tenang. Merekapun mulai melanjutkan pembangunan rumah-rumah mereka di sekitar masjid.
DULU MELARANG SEKARANG MEMINTA
Desa Giyanang masuk dalam kecamatan Tinombo. Di sana terdapat sekitar 40KK warga Muallaf. Mereka adalah warga Bela yang sempat di”Islam”kan oleh Tete Izam (Pak Tahar) sekitar lima tahun silam. Tete Izam, bersama dengan Pak Ilham (adiknya) dan beberapa rekan mereka pernah berdakwah kepada warga Bela Giyanang selama beberapa bulan. Bahkan Tete Izam dan rekannya sempat membangunkan sebuah Masjid di Giyanang. Termasuk kepala sukunya yang bernama Pipi Ba’i juga ikut masuk Islam. Hanya saja pembinaan waktu itu tidak berlanjut karena kendala kurangnya dana dan ilmu. Sekitar sepuluh bulan lalu ketika para dai Poso baru memulai dakwah di Dongkalan, memang Tete Izam sempat mendatangi para Muallaf Giyanang untuk bergabung dengan kegiatan dakwah para Da’i Poso. Namun kepala Desa Giyanang ketika itu melarang warganya untuk bergabung. Bahkan Tete Izam sempat mendapat ancaman. Akhirnya Tete Izam pun pulang dengan tangan hampa.
Setelah ada titik terang tentang keberadaan para Da’i Ahlussunnah, akhirnya kepala desa Giyanang sempat mendatangi Pak Arsyad. Beliau menyampaikan keinginannya, agar para dai Poso juga bersedia membina warga muallaf di wilayahnya. Alhamdulillah setelah berbagai tuduhan fitnah telah diluruskan kembali oleh Pak Camat, kepala Desa Giyanang yang dulunya melarang sekarang malah meminta pembinaan kepada para Da’i melalui Pak Arsyad.
Insya Allah dalam giliran para dai berikutnya akan diagendakan menemui kepala desa dan para Muallaf Giyanang.
SELAMAT TINGGAL BAYI YANG MUNGIL
Ibu Ros salah satu warga muallaf Lauje, adalah Ibu dari seorang bocah balita yang berumur 1,5th, Yuli nama anak perempuan tersebut. Setelah berpisah dari suaminya, Ibu Ros pun hidup sendiri. Hampir setiap kali rombongan para dai Poso datang ke Dusun Solongan, Ibu Ros selalu mendekat dengan membawa Yuli yang mungil dan lucu itu.
Sayangnya pada suatu hari Si Yuli menderita sakit. Sang ibu yang minim pengetahuan, menyangka anaknya itu sakit biasa. Setelah beberapa hari, ternyata tak kunjung reda sakitnya, sampai mata sang anak sudah terpejam dan mulutnya keluar cairan putih. Bocah yang mungil dan lucu itu sudah terdiam tak lagi bisa menetek pada ibunya. Dalam kondisi sudah demikian, sang paman balita tersebut, Pak Yusuf datang kepada Pak Upik dan Tete Izam untuk pinjam uang untuk biaya berobat ke puskesmas. ”Nanti kalau panen cengkih dan coklat mau dibayar insya Allah.”katanya. Qaddarallah pada hari itu, belum ada dai Poso yang tugas bergiliran berdakwah di Masjid Lauje. Maka Pak Upikpun mengkhabarkan hal ini kepada para dai Poso via telpon.
Hari itu juga, para Da’i Poso mengirimkan bantuan untuk biaya berobat si Yuli. Subhanallah setelah mendapatkan perawatan di Puskesmas Palasa, tidak ada perubahan yang berarti. Ternyata kata dokter, sang anak ini menderita infeksi di bagian otaknya dan mesti dirujuk ke Rumah Sakit Parigi.
Sebabnya karena Yuli pernah jatuh dari tangga rumah, sehingga terjadi benturan di kepalanya. Akhirnya ada keluarga Pak Yusuf yang masih nasrani meminta bantuan kepada Pendeta Selvi (pendeta yang dulu membina mereka) untuk biaya berobat sang anak. Ternyata apa jawaban sang pendeta : ”Jangan kalian minta kepada saya, mintalah bantuan kepada imam kalian yakni Pak Upik.” Betapa kecewanya keluarga Ibu Ros. Sang pendeta ternyata tidak mau peduli dengan sang balita yang sangat butuh bantuan medis. Memang Ibu Ros, Pak Yusuf dan Ibu Arina, mereka kakak beradik telah masuk Islam semua. Sampai-sampai pendeta Selvi sangat marah dengan keislaman mereka. Lebih-lebih keislaman Ibu Arina yang telah dibiayai untuk ikut pendidikan pendeta di Manado. Dia lalu mengatakan : ”Kalau kalian semua kembali ke agama kristen, saya akan membantu membiayai berobat anak ini.”
Maka keluarga Ibu Ros pulang dengan membawa kekecewaan. Lalu mereka mendatangi Pak Upik mengkabarkan kondisi terakhir sang anak. Maka Pak Upik pun menelpon para dai Poso. Para Da’i menyarankan untuk segera membawa anak tersebut ke Rumah Sakit Parigi. Mereka langsung mengirimkan uang untuk biaya ambulans. Ikhwah Parigi juga sudah siap membantu pengobatan sang bayi di RSU Parigi. Akan tetapi Allah menghendaki lain. Nyawa si Yuli sang bocah lucu ternyata diambil pemiliknya. Ibu Ros dan keluarga melepas kepergian Yuli dengan pasrah.
Pada acara pemakaman sang Anak, Ibu Ros sempat mengatakan kepada para hadirin, tokoh masyarakat juga pendeta, ”Saya sampai mati tidak akan kembali ke agama kristen.” demikian ucapan Ibu Ros.
Alhamdulillah tak lama dari itu, ada salah seorang pria nasrani yang ingin mempersunting Ibu Ros. Adalah seorang nasrani tetangganya yang berama Toulan, seorang duda yang berniat ingin melamar ibu Ros. Melihat tekad kuatnya ibu Ros untuk tetap berpegang dengan islam, akhirnya Toulan pun memutuskan untuk masuk Islam juga. Alhamdulillah dengan difasilitasi Pak Arsyad, mereka berdua akhirnya menikah dan berencana untuk tinggal di dekat Masjid Muallaf Al-Hidayah insya Allah.
PARA PENDETA DARI JAKARTA MULAI RESAH
Sudah menjadi sunnatullah, tatkala dakwah Tauhid mulai tumbuh, para ahlul batil semakin semangat menebar kebatilannya demi menghadang laju dakwah. Ketika kegiatan dakwah di masjid Al-Hidayah mulai aktif, ternyata para tokoh nasrani mulai resah. Demi menyedot perhatian jemaatnya, pendeta Selvi mulai mengajak para pendeta dari Poso dan Tentena untuk silih berganti membina gembalanya di dusun Solongan. Kebaktian secara rutin mereka laksanakan di rumah orang tua Ibu Arina (salah satu muallaf). Memang dusun Solongan di dominasi oleh kaum nasrani, dari sekitar 60KK, yang muslim cuma ada 20KK. Sepertinya para tokoh nasrani di Jakarta sudah mendengar kegiatan Dakwah Ahlussunnah di Lauje. Nampaknya mereka mulai resah, sehingga merekapun mengutus tiga orang pendeta Pantekosta dari Jakarta. Tiga pendeta ini jauh-jauh dari Jakarta menuju Gunung Solongan ingin melihat langsung situasi gembalanya. Dengan diantar pendeta Selvi mereka datang ke dusun Solongan dan sempat juga melihat-lihat bangunan masjid Al-Hidayah. Menurut berita dari Sofi, ketiga pendeta Jakarta itu ingin melihat lokasi dan berencana membangun sebuah gereja di sana.
GEREJA SILONGKOVUNG MULAI AKTIF KEMBALI
Silongkovung adalah dusun tetangga Solongan, jaraknya kurang lebih 40 menit berjalan kaki dari masjid Muallaf. Mayoritas warga Silongkovung adalah nasrani. Di sana ada sebuah gereja yang tidak begitu aktif. Akan tetapi setelah kegiatan dakwah mulai terlihat di Masjid Al-Hidayah, para tokoh nasrani di sana sepertinya mulai resah. Mereka mulai membentengi gembalanya. Sepulang para dai ke Poso, ada seorang pendeta bule dari Kanada yang tinggal di Ogo Alas datang ke Silongkovung.
Dengan ditemani dua pendeta lokal, pendeta bule itu datang memimpin kebaktian Gereja Silongkovung. Sepertinya mereka ingin menyedot perhatian gembalanya dengan tokoh pendeta Kanada itu. Setelah itu, menurut Pak Andi para pendeta juga terus didatangkan dari daerah-daerah lainnya ke Silongkovung. Ada pendeta yang dari Poso, Palu, Manado, Toraja, bahkan ada pendeta yang dari Jawa yang silih berganti membina warga Gunung Lauje di sana.
RENCANA MENEMPATKAN DA’I AHLUSSUNNAH DI GUNUNG
Melihat permintaan beberapa warga muallaf yang ingin mendapatkan pembinaan, seperti di Dusun Giyanang, dan Ansibong, maka in sya Allah diagendakan program penempatan beberapa Da’i Ahlussunnah yang bersedia tinggal di gunung guna lebih mengintensifkan pembinaan. Ketika para misionaris asing rela tinggal bertahun-tahun di tengah warga terasing guna menyebarkan misi kufur mereka, tentunya para Da’i lebih berhak untuk tinggal di sana guna menebar cahaya Tauhid in sya Allah. Semoga Allah mudahkan program penempatan Da’i di pegunungan Lauje.
Demikianlah sepintas perkembangan dakwah di pegunungan Lauje. Teriring harapan, sekiranya pembaca turut mendoakan para Muallaf juga para Da’i, semoga Allah memudahkan segala urusan mereka.
Sumber: Majalah Qudwah no 13 th…….