Al-Ustadz Abu Fadhl Fauzan
Tanya:
Apa hukum seorang wanita berziarah kubur?
Dijawab oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah :
Wanita adalah saudara kandung pria. Semua yang boleh bagi pria boleh pula untuk para wanita, dan semua yang disunnahkan untuk pria disunnahkan pula untuk wanita, kecuali sesuatu yang dikecualikan oleh dalil yang khusus.
Tentang masalah ziarah wanita ke kuburan, tidak didapati dalil khusus yang mengharamkannya atas wanita dengan pengharaman yang umum. Bahkan, disebutkan dalam Shahih Muslim kisah Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau meninggalkan tempat tidurnya dan pergi ke Baqi’ lalu mengucapkan salam atas para penghuni kubur. ‘Aisyah pun keluar mengikuti beliau dari belakang. Kemudian, ketika beliau kembali, ‘Aisyah pun ikut kembali. Ketika beliau berjalan cepat, ‘Aisyah pun berjalan cepat hingga mendahului sampai ke ranjangnya.
Nabi masuk dalam keadaan ‘Aisyah menarik napas panjang. Beliau bertanya, “Ada apa denganmu, wahai ‘Aisyah? Apakahengkau mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya berbuat zalim kepadamu? Sesungguhnya Jibril datang kepadaku beberapa saat yang lalu. Dia berkata, ‘Sesungguhnya Rabbmu mengucapkan salam kepadamu dan menyuruhmu untuk mendatangi Baqi’ dan memintakan ampun untuk mereka’.”
Disebutkan dalam riwayat di selain ash-Shahih, ‘Aisyah berkata, “Di mana saya dan di mana Anda, wahai Rasulullah?”
Kemudian, dia berkata sebagaimana dalam ash-Shahih, “Apabila saya berziarah ke kuburan, apa yang saya ucapkan?” Beliau menjawab, “Ucapkan ….”—beliau menyebutkan doa salam yang ma’ruf (sudah terkenal).
Adapun hadits لَعَنَ اللهُ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ (Allah melaknat para wanita yang sering berziarah kubur), hadits ini terjadi di Mekkah pada fase Mekkah. Sebab, ada hadits yang ma’ruf,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، أَلَا فَزُورُوهَا
“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur. Ketahuilah, berziarahlah kalian (sekarang)!”
Tidak diragukan bahwasanya larangan tersebut tidak terjadi di Madinah, tetapi di Mekkah. Sebab, ketika itu para sahabat baru saja meninggalkan kesyirikan, sehingga tidak tergambarkan bahwa larangan ini terjadi di Madinah.
Adapun sabda beliau, أَلَا فَزُورُوهَا (Ketahuilah, berziarahlah kalian [sekarang]), mungkin hal ini terjadi di Mekkah. Akan tetapi, sama saja apakah terjadi di Mekkah atau Madinah, izin ini datang setelah larangan di Mekkah. Hal ini menghasilkan perkara yang penting apabila dinisbahkan pada hadits ‘Aisyah yang terdahulu. Ada kemungkinan hadits ‘Aisyah tersebut mansukh (hukumnya dihapus), tetapi kemungkinan ini sangat jauh.
Yang rajih (kuat) adalah bahwa dahulu, di Mekkah, beliau melarang mereka untuk berziarah kubur, kemudian di akhir fase Mekkah atau di awal fase Madinah, beliau bersabda, “Ketahuilah, berziarahlah kalian sekarang.”
Tidak diragukan lagi setelah prakata ini bahwa larangan ini mencakup pria dan wanita, dan izinnya pun demikian.
Apabila perkaranya seperti itu, lalu kapankah datangnya hadits “Allah melaknat para wanita yang sering berziarah kubur”? Apabila hadits ini datang setelah izin beliau kepada para wanita, berarti naskh (penghapusan hukum) terjadi dua kali apabila dikaitkan dengan para wanita, dan kami tidak mendapati hal ini sedikit pun dari hukum-hukum yangmansukh.
Akhir kata, anggaplah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat para wanita yang sering berziarah kubur” setelah beliau mengizinkan mereka (para wanita) dan para pria (untuk berziarah kubur). Lalu, bagaimana kedudukan hadits ‘Aisyah ketika dia meminta izin kepada Nabi dan beliau mengizinkannya? Apabila dikatakan bahwa hal itu terjadi sebelumnya—dan ini yang kuat di sisi kami, kami katakan bahwasanya larangan ini untuk wanita saja, yaitu larangan berlebih-lebihan dan sering-sering berziarah kubur. Kemudian, bagaimana bisa ziarah wanita ke kuburan itu haram, sedangkan Sayyidah ‘Aisyah masih terus berziarah kubur setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 208)
http://qonitah.com/fatwa-wanita-edisi-16/
BELAJAR MANHAJ SALAF (channel & whatsapp BMS)
Situs kami :